
Soal yang juga terus menimbulkan kemenduaan mental politik kita hari-hari ini adalah masalah globalisasi. Ketakutan untuk masuk dalam percakapan politik global telah menghasilkan reaksi atavistik yang memalukan. Kita menyembunyikan kegagapan kebudayaan kita dengan cara menyulut api nasionalisme, seolah-olah asap tebalnya dapat menghalangi tatapan dunia terhadap praktek politik koruptif dan mental feodal bangsa ini. Nasionalisme menjadi semacam "mantra penangkal bala" setiap kali kita membaca laporan-laporan dunia tentang index korupsi kita yang masih tinggi. Nasionalisme kita pasang sebagai tameng setiap kali diperlukan evaluasi hak asasi manusia dan kebebasan pers oleh masyarakat internasional. Kita tidak memberi isi nasionalisme itu sebagai ide yang dinamis, "in-the-making", tetapi kita menyimpannya sebagai benda mati dan memperlakukannya sebagai jimat politik.
Nasionalisme adalah identitas publik yang seharusnya kita olah dengan akal untuk ditampilkan sebagai modal diplomasi politik dan ekonomi. Nasionalisme masa kini ada pada keunggulan "national brand", dan bukan ditampilkan sebagai psikosis pasca-kolonial.
Dan khusus menyangkut isu neoliberalisme, reaksi kita bahkan nyaris mistik. Kita memakai tameng-tameng tradisi untuk memusuhi suatu alam pikiran yang tidak pernah berwujud di belahan bumi manapun. Kita mengorganisir kemarahan publik untuk memusuhi sesuatu yang adanya hanya di buku-buku filsafat. Tetapi seandainya pun perlawanan itu harus diberikan, kita justeru menolak mengajukan marxisme sebagai lawan filosofi yang sepadan, dan malah menyiapkan ayat-ayat agama sebagai kontra moral baginya. Agaknya, hanya di negeri ini dua ideologi yang bermusuhan, kita musuhi sekaligus. Kita menolak dua-duanya dengan akibat kita tidak pernah paham logika sesungguhnya dari susunan-susunan pikiran itu. Karena itu, retorika dan hiruk-pikuk seputar isu "neolib" terasa lebih sebagai hasil refleks psikologi poskolonial yang dangkal ketimbang hasil refleksi intelektual yang dalam. Akibatnya, slogan neoliberal menjadi stempel politik baru bagi siapa saja yang dianggap mengedarkan kebebasan individu atau mengucapkan dalil-dalil ekonomi pasar. Kita tidak merasa perlu untuk mendalami filsafat itu karena kita lebih mengandalkan emosi yang panas ketimbang analisa yang dingin. Politik stigmatisasi semacam ini tidak mendidik rakyat untuk mengucapkan argumen, karena memang hanya dimaksudkan untuk meneriakkan sentimen.
Di sinilah kita perlu kembali pada akal sehat, yaitu memeriksa konsekuensi politik dari suatu debat palsu tentang ideologi ekonomi. Pada tingkat kebijakan, urgensi untuk memenuhi kebutuhan rakyat tidak lagi diukur berdasarkan sistem-sistem abstrak ideologi, melainkan oleh tuntutan keadilan di dalam politik distribusi. Pemerintah yang korup, di dalam sistem ideologi apapun, pasti menyengsarakan rakyat. Demikian juga, pasar yang efisien tidak dirancang dengan variabel nepotisme di dalamnya. Jadi, mendahului berbagai perselisihan ideologi, kita harus memastikan bahwa korupsi dan arogansi politik tidak boleh dipelihara dalam sistem politik kita. Dari sana, baru kita dapat menyusun kombinasi paling rasional antara peran pasar dan negara dalam melayani warganegara.
Obsesi kita tentang "ke-Indonesia-an" hari-hari ini, tidak cukup lagi merujuk pada dokumen-dokumen historis di masa lalu (Sumpah Pemuda, Proklamasi, dll), tetapi kita perlu memperluasnya pada kebutuhan politik masakini untuk mewadahi "kemajemukan baru", yaitu kemajemukan yang timbul oleh percakapan kebudayaan dan teknologi global. Percakapan kebudayaan itu lebih sering berlangsung di dalam ruang maya, dan nampaknya demokratisasi pikiran dan ide lebih dihargai di dalam kondisi digitalnya, ketimbang dalam pergaulan sosial nyata.
Perkembangan "ruang politik digital" itu, menandai suatu transisi peradaban politik baru. Imajinasi misalnya, akan meloloskan diri dari sensor institusi-institusi formal negara, dan karena itu, ukuran-ukuran moral lama sesungguhnya sudah memasuki masa kadaluwarsa. Kini, sangat mungkin juga orang mendirikan rumah-rumah ibadah digital, bukan sekedar untuk menghindar dari lemparan batu kaum fundamentalis, tapi untuk sungguh-sungguh memberi tahu mereka bahwa surga juga dapat dibayangkan secara teknologis, dan diselenggarakan secara ekonomis.
Tetapi politik adalah penyelenggaraan keadilan di dalam ruang sosial nyata. Ruang digital tidak boleh berubah menjadi tempat mencari suaka. Ruang digital hanya boleh menjadi ruang konsolidasi subversif untuk membebaskan ruang sosial nyata dari hegemoni politik konservatif-fundamentalis.
Sesungguhnya, sama seperti ruang demokrasi, ruang digital itu juga dimanfaatkan oleh politik fundamentalis untuk menimbun dan menyebar kebencian, intoleransi dan permusuhan. Jelas bahwa ruang digital hanyalah sarana operasi politik, sementara markasnya tetap berada di dalam ruang sosial nyata: di ruang rapat partai, di kelas-kelas sekolah, di rumah-rumah ibadah.
Dalam konteks solidaritas global itu, kondisi kemanusiaan tidak mungkin lagi dipahami dalam definisi-definisi primordial. Kita tidak menjadi "manusia" hanya karena terikat pada kesamaan etnis dan keyakinan. Kita menjadi manusia karena kita terikat pada problem sosial yang sama, yaitu kemiskinan dan krisis energi global. Kita tidak mencari rasa aman pada aturan-aturan komunal, bila kita paham bahwa hukum hak asasi manusia telah menyelamatkan peradaban dari politik genosida di berbagai penjuru dunia. Kemanusiaan kita hari ini lebih diikat oleh kewajiban global untuk mengatasi bencana alam dan memberi perlindungan pada para pencari suaka. Kemanusiaan adalah solidaritas etis terhadap masalah masa kini, dan bukan perkelahian ideologis di jalan buntu.
Mengucapkan kemanusiaan sebagai "solidaritas etis" harus memungkinkan setiap orang keluar dari koordinat mentalitas komunalnya. Pertemuan di dalam ruang politik adalah pertemuan untuk mempercakapkan kemungkinan-kemungkinan sosiologis, dan bukan kepastian-kepastian teologis. Menerima politik sebagai "ruang antagonisme", berarti memahami peluang untuk suatu konfrontasi etis demi alasan-alasan keadilan. Karena itu politik mengandaikan resipkrokasi percakapan, dan itu berarti wacana publik hanya dapat diselenggarakan bila keadilan dikonsepsikan secara sekuler. Anda tentu tidak membayar pajak untuk memperoleh "pahala akhirat", melainkan untuk menjamin keadilan di bumi. Artinya, solidaritas etis harus dapat diukurkan langsung pada kesosialan manusia hari ini, agar kita tidak menunda keadilan sampai tibanya hari kiamat.
Tentu saja kita masih masih perlu memandang diri sendiri melalui cermin-cermin identitas yang dipasang mengelilingi hidup komunal kita. Cermin-cermin itu seperti memberi rasa aman primitif kepada identitas seseorang. Kita bahkan perlu menggosok cermin itu agar kilaunya menimbulkan rasa unggul primitif pada kelompok. Tetapi sekali kita melangkah ke luar rumah, narsisisme itu tidak lagi banyak gunanya. Di dunia nyata, yang kita temukan adalah berbagai masalah sosial yang tidak mungkin sekedar diatasi dengan doa, sesajen dan mantra. Politik kelas tidak dapat ditunggu penyelesaiannya di akhirat. Demikian juga kerusakan lingkungan tidak dapat ditangkal oleh komat-kamit sejumlah dukun. Kesetaraan gender, bahkan menuntut cermin-cermin itu dipecahkan!
So, do you speak Pluralism? Do you speak Environmentalism? Feminism?, Queer? Kita sedang berbicara tentang "politics of recognition". Dan itu berarti pemihakan pada mereka yang tersisih oleh kekuatan-kekuatan kekuasaan, kapital dan kebudayaan. Dasar etis dari "politik pengakuan" ini adalah bahwa suatu kelompok yang tersisih hanya karena kedudukannya yang "minoritas" dalam masyarakat politik, harus memperoleh perlindungan istimewa dari negara. Itulah alasan misalnya bagi pengakuan atas hak "affirmative action" bagi politik perempuan. Itu juga alasannya keperluan kita membela hak-hak "queer", karena orientasi seksual adalah kondisi yang sangat individual. Negara tidak dapat diperalat untuk menjalankan moral mayoritas.
Di dalam diktum yang paling keras, negara justeru diadakan untuk melindungi kelompok minoritas. Sebaliknya, kelompok mayoritas yang masih menuntut pengakuan adalah kelompok yang sebetulnya bermental minoritas.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar