Jumat, 26 November 2010

Tetapi Republik harus tetap berdiri...


Republik adalah ide minimal untuk menyelenggarakan keadilan, kesetaraan dan kemajemukan. Normativitas ini menuntut pekerjaan politik, pada dua lapis. Pertama, suatu imajinasi intelektual untuk merawat konsep "publik" pada kondisi sekulernya. Kedua, suatu perlawanan politik terhadap teokratisasi institusi-institusi publik. Artinya, ide republik hanya dapat terselenggara di dalam suatu usaha intelektual yang berkelanjutan, yaitu usaha mempertahankan kondisi perdebatan politik pada dataran duniawi, sosiologis dan historis. Usaha ini bukan dimaksudkan untuk meyakinkan kaum absolutis, melainkan untuk membantu mereka yang ragu-ragu karena kekurangan alat kalkulasi logis. Mereka yang "ragu-ragu" inilah sesungguhnya yang dapat "membiarkan" demokrasi dikuasai dan dikendalikan oleh politik absolutis. Golongan "ragu-ragu" ini bukan saja mengalami kecemasan di dalam membayangkan suatu masyarakat sekuler, tetapi juga tergoda membayangkan suatu "keuntungan moral" di dalam suatu politik teokratis. Gangguan akal sehat semacam inilah yang secara cepat dimanfaatkan oleh politik fundamentalisme untuk menebar hegemoni moral mayoritas.

Menerangkan politik sebagai urusan warganegara, sekaligus berarti mempertahankan argumen masyarakat sekuler. Di dalam Republik, status primer seseorang adalah sebagai warganegara (citizen). Ia tentu memiliki sejumlah status privat: agama, etnis, dll. Tetapi status privat tidak mungkin diajukan untuk mendukung argumentasi publik. Republik hanya berurusan dengan argumentasi publik. Keyakinan agama warganegara misalnya, bukanlah urusan negara. Negara tidak dapat diperalat untuk menjamin isi keyakinan itu. Negara hanya menjamin hak berkeyakinan itu, sebagai hak warganegara. Dan sebagai hak, setiap orang bebas mendeskripsikan preferensi religiusnya, sekaligus bebas untuk tidak menggunakannya. Kandungan moral agama bukan urusan negara. Tetapi bila kandungan itu melahirkan kriminalitas, maka negara menghukum atas dasar hukum publik, dan bukan melarang isi keyakinan itu. Batas itu harus dipegang secara teguh sebagai prinsip pendidikan politik publik. Dan prinsip itu harus diterangkan sejak dini pada murid sekolah, dipastikan dipahami oleh anggota partai politik, dan dijadikan diktum pejabat publik. Dengan cara itu kita tidak perlu lagi mendengar pejabat publik mengucapkan kebodohan karena memaksakan pandangan moral pribadinya terhadap soal publik. Di sini sekaligus perlu kita ingatkan bahwa para menteri adalah pembantu Presiden, dan bukan asisten Tuhan.

Keragu-raguan untuk menerima dan menjalankan konsekuensi politik dari ide Republik, terutama disebabkan oleh kepentingan politisasi kekuasaan terhadap kondisi antropologis bangsa ini. Bagaimanapun, simbol-simbol primordial tidak mungkin punah hanya oleh gerak ekonomi global, modernisasi dan kosmopolitanisme. Politik identitas telah menjadi reaksi logis dari kosmopolitanisme, tetapi pemanfaatan politiknyalah yang menjadi isu utama di negeri ini. Artinya, kondisi atropologis kita yang masih kuat berbasis pada paham-paham komunal juteru dieksploitasi oleh kekuasaan untuk diperjualbelikan di dalam pasar politik. Maka sangatlah ironis ketika kita mengucapkan demokrasi sebagai pilihan sistem politik, pada saat yang sama kita sudah berencana memenangkan pemilu dengan peralatan-peralatan primordial, terutama agama.

Di dalam Republik, kita menyelenggarakan pluralisme. Artinya, kita bukan sekedar mengakui perbedaan pandangan hidup, tapi kita sendiri juga dapat berubah pandangan hidup. Dalam pluralisme, kita tidak menyebut kebenaran itu "relatif", melainkan "tentatif". Karena itu selalu terbuka kesempatan untuk berselisih pendapat, agar kita bisa bercakap-cakap. Kewarganegaraan adalah percakapan di antara mereka yang tidak fanatik. Republik adalah lokasi politik yang menampung semua proposal sekuler. Di sini kita harus pahami ide Republik bukan semata-mata sebagai instalasi politik teknis, tetapi sebagai struktur percakapan etis. Di dalam Republik, "suasana" percakapan publiklah yang lebih utama ketimbang fasilitas-fasilitas politiknya (partai, pengadilan, birokrasi). Di dalam Republik-lah manusia menyelenggarakan dirinya sebagai "zoon politicon", merundingkan kepentingan bersama, memutuskan keadilan dan mendistribusikan kebutuhan dasar. Proses ini mengandaikan kebebasan dan kesetaraan. Itulah sifat publik dari politik. Dengan kata lain, intervensi nilai-nilai personal ke dalam ruang publik tidak boleh terjadi. Nilai personal, pandangan moral komunal, harus dikonversi ke dalam tata bahasa politik publik bila ingin diajukan sebagai proposal publik. Artinya, keterbukaan dan kesetaraan di dalam Republik hanya mengandalkan diskursus rasio publik. Dan sifat diskursus itu adalah falibilis, bukan absolutis.

Kemajemukan dan "suasana Republik", sesungguhnya telah kita miliki jauh sebelum Proklamasi diucapkan. Sumpah Pemuda adalah sumber energi kemajemukan yang sesungguhnya. Pikiran politik di tahun 1928 itu menyadari sepenuhnya kondisi ideologis bangsa ini, kondisi yang potensial bagi konflik horisontal, dan karena itu para pemuda hanya bersepakat untuk tiga hal: satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air. Sumpah Pemuda tidak bersepakat demi soal-soal akhirat, tetapi demi urusan antar manusia di bumi, manusia yang beragam. Mereka bersumpah untuk sesuatu "yang sosiologis" (tanah, bangsa dan bahasa), karena paham bahwa "yang teologis" tidak mungkin dijadikan tali pengikat politik. Politik 1928, tidak terobsesi pada "sumpah keempat": beragama satu. Kecerdasan itulah yang sesungguhnya hilang dari percakapan politik kita hari-hari ini. Sumpah Pemuda kini hanya diingat dalam tema "kebangsaan" yang bahkan disempitkan menjadi "keberagaman dan keberagamaan" (dan karena itu perayaannya cuma diisi oleh petuah dan pesan-pesan agamis). Padahal moral dan filsafat politiknya telah mendahului menyelesaikan pertikaian politik agama dalam penyusunan Undang-Undang Dasar 1945.

Argumen ini harus kita ajukan untuk memastikan bahwa sumber kebudayaan modern dari ide republikanisme, sudah disediakan 17 tahun sebelum republik diproklamasikan. Artinya, ide republikanisme sudah dipelihara oleh "masyarakat sipil", jauh sebelum diformalkan oleh "masyarakat politik" melalui konstitusi 1945. Bahkan obsesi untuk memberi warna "agamis" pada penyelenggaraan negara (melalui debat panjang di Konstituante), juga dibatalkan oleh kecerdasan kebangsaan modern, yaitu bahwa di dalam Republik, rakyatlah yang berdaulat, bukan Tuhan atau Raja. Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan itu: "Negara berdasarkan Kedaulatan Rakyat" .

Ide Kedaulatan Rakyat ini memberi kita batas yang tegas tentang wilayah politik. Yaitu bahwa politik adalah transaksi sekuler dengan ukuran-ukuran rasional, empiris, dan historis. Bahwa bahasa politik adalah bahasa yang dapat diperlihatkan konsekuensinya "di sini dan sekarang", bukan "nanti dan di sana". Bahwa ukuran-ukuran moral harus tumbuh dari pertarungan gagasan-gagasan historis, bukan dari doktrin-doktrin metafisis. Bahwa warga negara hanya terikat pada ayat-ayat konstitusi, dan bukan pada ayat-ayat suci. Bahwa fakta adanya golongan mayoritas (dalam agama misalnya), hanyalah petunjuk demografis, yaitu untuk keperluan administrasi kependudukan dan bukan untuk keunggulan kedudukan suatu kelompok terhadap yang lain. Di dalam demokrasi, identitas individu (agama, kelamin, pekerjaan), hanya dicatat sebagai data statistik, dan bukan alasan pembedaan warganegara.

Sangatlah berbahaya bila seseorang didefinisikan sebagai minoritas dalam agama atau preferensi seksual misalnya karena sekaligus ia akan menjadi warganegara kelas dua. Diskriminasi inilah yang harus kita perangi karena ia menyebabkan permusuhan sosial atas alasan-alasan irasional. Misalnya, apakah karena seseorang tidak beragama, maka ia akan dikucilkan dan dilecehkan, atau bahkan dianiaya? Di dalam demokrasi, agama adalah hak. Artinya, ia boleh dipakai, boleh tidak. Negara tidak berwenang memaksakan kewajiban beragama karena hal itu melanggar kebebasan hati nurani. Agama adalah wilayah hati nurani. Kesucian keyakinan dan kejujuran ketakwaan seseorang hanya menjadi rahasia antara dia dan Tuhannya. Kemuliaan itulah yang harus dipisahkan dari kehidupan politik sehari-hari karena di dalam demokrasi kita tidak mungkin menghakimi seseorang berdasarkan ukuran moral orang lain. Sejauh preferensi moral dan religi seseorang tidak diterjemahkan menjadi tindakan kriminal, maka negara harus bertindak imparsial di dalam melayani hak-hak sipil dan politiknya. Atas dasar itulah negara berkewajiban mengedarkan etika publik, yaitu pendidikan kewarganegaraan yang membiasakan warganegara hidup dalam politik kemajemukan.

Kedaulatan Rakyat berarti bahwa keputusan politik dipertengkarkan atas kebutuhan keadilan dan kesetaraan sosial warganegara, dan bukan atas ukuran-ukuran hirarki kesolehan dan kesucian sebuah umat. Asumsi kedaulatan rakyat adalah bahwa semua orang setara dalam kecerdasan dan kebebasan, dan karena itu keputusan politik harus diambil dalam ruang antisipasi kesalahan, dan bukan dalam ruang kebenaran doktrinal.

Di dalam republik, "kebenaran" disirkulasikan dengan pikiran, dan bukan dengan keyakinan. Itulah sebabnya "kebenaran" dapat dibatalkan dengan argumen, dan bukan dipertahankan dengan kekerasan. Spekulasi epistemologis bahwa "kebenaran" itu harus satu, dan karena itu politik harus menjadi absolut, pernah membawa politik kita ke dalam sistem otoriterisme. Dan bila sekarang "kebenaran" itu hendak dipaksakan kembali atas dasar spekulasi teologis, maka kita sungguh-sungguh sedang mengumpankan diri pada otoriterisme teokratis. Inilah cara pandang monolitik yang kini semakin meluas dalam kehidupan politik kita akhir-akhir ini, suatu paradoks di dalam sistem demokrasi yang kita pilih.

Cara pandang politik semacam itu sesungguhnya berakar di dalam antropologi komunalisme yang kian tumbuh justeru dalam kondisi globalisasi. Komunalisme adalah alam pikiran konservatif yang memandang individu sebagai subyek tanpa eksistensi, yang identitasnya tergantung pada identitas komunitas. Komunalisme hendak menetapkan bahwa di luar komunitas, tidak ada identitas. Tetapi hal yang paling konservatif dari alam pikiran ini adalah keyakinan bahwa keutuhan komunitas memerlukan pengaturan doktrinal. Konsekwensinya adalah: tidak boleh ada pikiran bebas individu. Pandangan kebudayaan inilah yang kini sedang diedarkan melalui bawah-sadar politik rakyat oleh partai-partai berbasis agama, yang mengeksklusifkan kehidupan publik mengikuti parameter-parameter komunal. Secara kongkrit, pandangan itu berwujud dalam perda-perda agama.

Secara gradual kita merasakan infiltrasi pikiran itu dalam berbagai aturan publik dengan memanfaatkan fasilitas demokrasi, yaitu kekuasaan parlemen membuat undang-undang. Politik adalah upaya menguasai ruang publik. Demokrasi memang toleran terhadap kontestasi pikiran. Tetapi politik komunalisme hendak menutup ruang publik itu dengan suatu diktum ontologi absolutis: hanya boleh ada satu Ada, dan karena itu, ada yang lain tidak boleh ada!

Dalam versi sekulernya, pandangan komunalisme ini pernah memayungi praktek penyelenggaraan konstitusi kita, yaitu melalui doktrin "negara integralistik", suatu pandangan feodalistik yang dijalankan dengan dukungan militer di masa Orde Baru, dalam konspirasinya dengan kekuatan kapital. Praktek politik ini hanya mungkin berlangsung karena akar-akar budaya feodal itu memang ada di dalam masyarakat kita.

Tetapi bentuk komunalisme hari-hari ini adalah suatu sikap eksklusivisme religius yang memanfaatkan keterbukaan demokrasi, sambil mengeksploitasi simbol-simbol agama yang memang kuat tertanam dalam antropologi politik bangsa ini. Anda mungkin terkejut mendengar seorang murid SD menunjukkan jalan kepada sopir taksi, sambil mengingatkan: "itu rumah orang kafir lho!" Dalam kasus semacam ini, kita tahu ada problem serius tentang kewarganegaraan, kemajemukan, dan pikiran terbuka. Ada problem serius tentang kehidupan di sekolah-sekolah, di dalam kurikulum dan organisasi-organisasi masyarakat. Acuan konsep-konsep publik yang seharusnya menimbulkan toleransi horisontal, telah diajarkan justeru dengan doktrinasi diskriminatif pada generasi yang baru tumbuh.

Politik kita hari-hari ini sedang menjalankan "crypto-politics". Elit menunggangi kebodohan dan kepatuhan komunal, untuk mencapai tujuan-tujuan kekuasaan. Sekarang ini, memimpin atau sekedar menjadi bagian dari suatu komunitas religius merupakan kebutuhan politis elit untuk mencapai status-status publik. Kesolehan menjadi simbol kewarganegaraan. Tatakrama menjadi pembatas kritisisme. Diskursus demokrasi menjadi tempat nyaman untuk mengorganisir kekuasaan dengan memanfaatkan peralatan agama. Simbol-simbol privat kini merajai kehidupan publik. Mayoritarianisme mendikte paham kedaulatan rakyat. Bahkan Mahkamah Konstitusi bersikap sangat adaptif terhadap logika "mayoritarianisme" itu, dengan menerima argumen-argumen privat dalam memutuskan urusan publik.

Benar bahwa sistem demokrasi membuka ruang kebebasan bagi berbagai aspirasi. Tetapi apakah aspirasi kebencian, misoginis, intoleran dan bahkan kriminal harus dinilai sama dengan aspirasi keadilan, otonomi tubuh, dan kebebasan berpendapat?

Di dalam demokrasi, realitas selalu berarti "realitas sosial". Yaitu kondisi kehidupan yang selalu memungkinkan kebenaran dikoreksi melalui bahasa manusia. Dan koreksi itu adalah pekerjaan duniawi yang harus terus diaktifkan karena apa yang ada di akhirat tidak mungkin dikoreksi. Inilah realitas yang harus disimulasikan terus menerus, untuk menggantikan psikologi obsesif yang menghendaki pemenuhan kebenaran akhirat di Republik manusia.

Ide Republik memberi kita pelajaran moral yang sangat mendasar, yaitu etika publik harus menjadi satu-satunya ikatan kultural di antara warganegara. Etika publik adalah hasil negosiasi keadilan, di dalam upaya memelihara kehidupan bersama berdasarkan apa yang bisa didistribusikan di dunia, dan bukan apa yang akan diperoleh di akhirat.

Misalnya, obsesi untuk menyempurnakan keadilan harus kita hasilkan melalui sistem pajak karena melalui pajaklah relasi warga negara disetarakan. Karena itu, sangatlah janggal bila pajak saudara untuk keadilan sosial di bumi, digunakan negara mensubsidi mereka yang ingin masuk surga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar