Sabtu, 27 November 2010

Mentalitas Sosial vs Mentalitas Anti-Sosial



Dari sudut pandang psikologi, titik fokus kajian untuk memahami rentetan perilaku menyimpang di Indonesia disorotkan pada faktor mentalitas. Istilah mentalitas merujuk pada karakteristik mental yang didasari oleh norma tertentu, mencakup nilai (value), sikap, cara pikir, pola pengolahan informasi dan pengambilan keputusan serta orientasi tindakan. Faktor mentalitas ini perlu diletakkan dalam konteks masyarakat sebagai perwujudan kesepakatan hidup bersama untuk mencapai kesejahteraan (well-being) bersama.

Hidup bersama berarti menyelesaikan seluruh persoalan melalui kata-kata, perundingan dan persuasi, bukan dengan paksaan atau kekerasan. Sebagai kumpulan orang yang ingin hidup bersama untuk mencapai kesejahteraan yang lebih baik, masyarakat Indonesia membutuhkan ikatan antara warga negara. Perasaan senasib sepenanggungan, simpati dan kesetiakawanan yang didasari oleh konvensi-konvensi yang dituangkan dalam bentuk undang-undang dan peraturan tanpa paksaan dan kekerasan. Oleh sebab itu mentalitas yang diharapkan terbentuk adalah mentalitas yang siap untuk bernegosiasi dengan kata-kata serta kompromi tanpa paksaan dan kekerasan. Sebut saja mentalitas semacam ini sebagai ‘mentalitas sosial’.

Namun, tak sulit kini untuk melihat indikasi-indikasi retaknya perasaan senasib, putusnya rantai simpati dan kendurnya kesetiakawanan di Indonesia. Kehidupan bermasyarakat di Indonesia seolah menjelma wilayah tak bertuan yang boleh diperlakukan semaunya oleh orang-orang yang ada di dalamnya. Pemerintah berjalan sendiri, kelompok-kelompok rakyat dalam keragaman yang tinggi masing-masing bergerak sendiri. Begitu pula wakil rakyat di parlemen, seolah asyik sendiri dengan upaya pemenuhan kebutuhannya, sibuk dengan konflik-konflik internal partai sementara produktivitas mereka tergolong rendah.

Setelah sekian banyak konflik, tindak kekerasan, meningkatnya kriminalitas dan mengganasnya ‘pengadilan massa’ dalam 10 tahun terakhir, sederetan pertikaian sosial dan peledakan bom terjadi di Indonesia sejak 1 januari 2002. Salah satu puncaknya, 12 Oktober 2002 ledakan bom di Bali yang dianggap terbesar baik dari segi daya ledak dan jumlah korban maupun pengaruhnya terhadap Indonesia dan dunia. Setelah itu, di Makasar terjadi juga ledakan di sebuah restoran McDonald pada malam takbiran Iedul Fitri 5 Desember 2002. Beberapa bentuk kekerasan itu masih terjadi hingga tahun 2010. Tanggal 30 Mei 2010, lebih dari 80 rumah dibakar dalam sebuah bentrokan antar warga di Duri Kosambi-Cengkareng, Jakarta Barat. Perampokan bersenjata dilakukan terhadap Bank CIMB Niaga Medan pada tanggal 18 Agustus 2010 oleh 16 orang bersenjata yang memakan korban 1 anggota Brimob. Tak lama setelah itu terjadi penyerbuan kantor Polsek pada tanggal 22 September 2010 yang memakan korban jiwa 3 orang petugas kepolisian. Seperti susul-menyusul dengan peristiwa kekerasan terdahulu, tanggal 26-27 September terjadi bentrok antar-kelompok di Tarakan yang memakan korban 5 orang, lalu tanggal 29 September bentrok antar-kelompok di Jl. Ampera Jakarta menewaskan 3 orang yang terlibat bentrok itu. Selain kejadian yang disebut barusan, bentrokan aparat dan warga, polisi dan demonstran, juga antar suporter sepak bola, masih mewarnai kehidupan sosial Indonesia. Hingga kini, belum ada tanda-tanda kekerasan di Indonesia akan berhenti.

Tingkahlaku-tingkahlaku yang ditampilkan manusia Indonesia masa kini itu merupakan indikasi dari sebuah ‘mentalitas anti-sosial’ dalam pengertian cara berpikir sepotong-sepotong, tak punya simpati dan empati pada pihak lain, tanpa kesadaran bahwa kehidupan bersama dengan beragam orang perlu didasari tujuan mencapai kesejahteraan bersama, serta berpikiran tertutup terhadap kemungkinan perbedaan dalam ruang sosial. Mentalitas anti-sosial ini mengarahkan manusia-manusia dalam sebuah masyarakat untuk bertindak dengan cara pikir, norma dan aturan sendiri-sendiri, memaksakan kehendak partikular sebagai kehendak umum, berfokus pada pencapaian kesejahteraan pribadi atau kelompok kecil, menafikan kesejahteraan pihak lain, memaksa dan menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar