Sabtu, 27 November 2010

Memfasilitasi Mentalitas Sosial


Menguatnya mentalitas anti-sosial dan melemahnya mentalitas sosial secara umum dipengaruhi oleh tiga faktor. Pertama, model dan contoh dalam kehidupan sosial di masa kini dan lalu. Kedua, aktivasi nilai-nilai dan cara berpikir yang perannya dipegang oleh pendidikan dan pola asuh, termasuk melemahnya hubungan saling-percaya dan solidaritas. Ketiga, faktor pembiasaan yang terwujud dalam sistem hukum dan sosial.

Faktor model dan contoh perlu diintervensi dengan memperbanyak model dan contoh yang baik. Tak dapat dipungkiri bahwa tokoh-tokoh elit politik, selebritis atau pemuka agama masih banyak dianggap sebagai model yang patut ditiru. Sayangnya sejauh ini di Indonesia lebih banyak contoh yang buruk dari model-model yang buruk. Tokoh-tokoh politik banyak menunjukkan perilaku yang justru anti-sosial, saling bertikai, mementingkan kursi kekuasaan dan berkinerja buruk di parlemen. Pejabat dan mantan pejabat banyak diduga terlibat kasus KKN. Mereka yang dilabel sebagai selebritis banyak menampilkan gaya hidup non-produktif dengan kondisi rumah tangga kacau balau tanpa contoh-contoh konstruktif. Lalu, tak sedikit pemimpin agama yang menampilkan perilaku intoleran terhadap kelompok kepercayaan lain, memaksakan keyakinannya untuk dijadikan dasar kehidupan bernegara.

Intervensi sosial diperlukan untuk menghasilkan model yang baik dengan contoh-contoh mentalitas sosial. Pemilihan umum yang representatif yang memberi kesempatan terpilihnya tokoh-tokoh dengan mentalitas sosial jadi agenda penting untuk segera dilaksanakan. Acara-acara yang menampilkan selebritis berprestasi dan bermentalitas sosial perlu diperbanyak. Lalu dialog-dialog yang simpatik, terbuka, argumentatif dan harmonis antara tokoh-tokoh agama bisa diharapkan memberikan contoh yang baik bagi masyarakat Indonesia.

Pendidikan dan pola asuh yang memfasilitasi anak berpikir kritis dan terbuka, toleran dan berorientasi pada penyelesaian masalah menjadi agenda penting dan mendesak bagi Indonesia. Lewat pendidikan dan pola asuh yang memadai, mentalitas sosial dapat dikembangkan. Sudah banyak metode pendidikan dan pola asuh yang terbukti menghasilkan manusia-manusia yang tangguh dalam menyelesaikan masalah jamannya dan memberi kontribusi besar bagi peningkatan kesejahteraan manusia. Artinya, rujukan bagi pelaksanaan pendidikan dan pola asuh yang memfasilitasi mentalitas sosial sudah tersedia, tinggal kehendak untuk memanfaatkannya.

Persoalan yang terberat usaha mengaktivasi nilai-nilai sosial terletak pada pendidikan. Kondisi pendidikan tahun ini tidak berbeda jauh dengan kondisi 10 tahun lalu seperti yang dilaporkan oleh Kenedi Nurham dalam Lorong Panjang; Laporan Akhir Tahun 2001 Kompas: tetap memprihatinkan. Perbaikan pendekatan, metode dan teknik belajar-mengajar dalam semua jenjang pendidikan formal perlu mendapatkan perhatian yang serius. Sudah beberapa kali dibuat kebijakan perbaikan kurikulum dan metode pengajaran tetapi pada pelaksaannya praktek pendidikan formal masih juga menggunakan pendekatan dan pola-pola pengajaran lama, sementara pendidikan informal seperti dimatikan dari waktu ke waktu.

Pendidikan formal dan informal seharusnya dapat berperan besar menghasilkan manusia-manusia dengan mentalitas sosial jika memiliki visi yang sesuai dengan tujuan kehidupan sosial meningkatkan kesejahteraan anggota-anggotanya. Metode pengajaran yang menitikberatkan pada penyediaan kesempatan bagi siswa untuk memperoleh pengalaman yang konstruktif dan beragam, berorientasi pada penyelesaian masalah dan kesiapan untuk berbeda pendapat serta pemahaman sosial yang komprehensif perlu dirancang dan diterapkan. Pendidikan partisipatoris dalam komunitas-komunitas di berbagai wilayah perlu dirancang dan digalakkan untuk peningkatan kesadaran tentang perlunya metalitas sosial. Dengan pendidikan (formal dan informal) yang memfasilitasi siswa atau peserta didik untuk mandiri dalam memahami perkembangan-perkembangan di lingkungannya dilengkapi dengan kepekaan sosial dapat akan berperan besar dalam pembentukan mentalitas sosial.

Faktor pembiasaan yang terwujud dalam sistem hukum dan sosial tentu saja perlu diintervensi. Konsistensi dan keberlanjutan dari penerapan hukum, mekanisme reward (penghargaan) dan punishment (hukuman/sanksi) serta ketegasan dan kewibawaan aparat hukum sangat diperlukan. Begitu pula dengan norma-norma sosial dan kesepakatan hidup bersama yang didasari oleh kepentingan semua warga perlu ditegaskan. Masyarakat Indonesia yang plural menuntut curahan tenaga dan pikiran yang sangat besar untuk dapat merumuskan kembali kesepakatan hidup bersama dalam negara republik Indonesia. Pelibatan seluruh warga negara dan mekanisme partisipasi politik rakyat yang jelas dan efektif dapat memfasilitasi terbentuknya mentalitas sosial pada manusia Indonesia.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar