Ada konvoi pemuda beringas berkeliling kota menebar moral. Ada anak muda memetik dawai mengelilingi dunia mengukir prestasi.
Ada fatwa penyair tua sepanjang hari membenci tubuh. Ada pelajar menggondol medali biologi di pentas dunia berkali-kali.
Ada lumpur pebisnis dibersihkan negara dengan pajak rakyat. Ada perempuan desa menembus bukit menyalurkan air bersih dengan tangannya sendiri.
Ada koruptor diusung partai jadi pahlawan. Ada relawan bergegas ke medan bencana tanpa menyewa wartawan.
Kita seperti hidup dalam dua Republik: Republic of Fear dan Republic of Hope. Akal sehat kita tentu menghendaki perwujudan Republic of Hope itu, secara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Tetapi nampaknya, penguasa politik lebih memilih memelihara Republic of Fear, karena di situlah statistik Pemilu dipertaruhkan. Kemajemukan hanya diucapkan di dalam pidato, selebihnya adalah tukar-tambah kepentingan yang diatur para broker. Hak Asasi Manusia dipromosikan ke mancanegara, tetapi kejahatan kemanusiaan di dalam negeri, diputihkan untuk modal Pemilu. Toleransi dihimbaukan ke seluruh rakyat, tetapi ketegasan tidak hendak dilaksanakan. Mengapung di atas bara sosial itu, sambil membayangkan siasat politik suksesi, adalah agenda harian elit politik hari-hari ini.
Politik tidak diselenggarakan di ruang publik, tetapi ditransaksikan secara personal. Tukar tambah kekuasaan berlangsung bukan atas dasar kalkulasi ideologis, tetapi semata-mata karena oportunisme individual. Di layar nasional, politik elit tampil dalam bentuknya yang paling dangkal: jual-beli di tempat! Tidak ada sedikitpun upaya "sofistikasi" untuk sekedar memperlihatkan sifat "elitis" dari percaloan politik itu. Dengan wajah standar, para koruptor menatap kamera karena yakin bahwa putusan hakim dapat dibatalkan oleh kekuasaan bila menolak ditukar saham. Dan sang hakim (juga jaksa dan polisi) memang mengkondisikan sebuah keputusan yang transaksional. Kepentingan bertemu kepentingan, keinginan bersua kebutuhan.
Di layar lokal, politik bahkan sudah diresmikan sebagai urusan "uang tunai". Seorang calon kepala daerah sudah mengijonkan proyek-proyek APBD kepada para pemodal, bahkan sebelum ia mencalonkan diri dalam Pilkada. Struktur APBD daerah umumnya condong membengkak pada sisi pegeluaran rutin pejabat dan birokrasi ketimbang pada sisi pengeluaran pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Maka sangat mudah memahami bahwa "human development index" kita tetap rendah karena biaya renovasi kamar mandi bupati lebih didahulukan ketimbang membangun puskesmas. Bahkan antisipasi terhadap kemungkinan sang kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi, juga sudah dipikirkan. Maka berbondong-bondonglah para kepala daerah bermasalah itu hijrah dari partai asalnya, masuk ke partai penguasa. Tentu itu bukan transfer politik gratisan. Tadah-menadah politik sudah menjadi subkultur politik nasional. Sekali lagi: kepentingan bertemu kepentingan, kemauan bersua kebutuhan.
Dalam perjanjian konstitusional negara dengan warganegara, keadilan dan keamanan dijadikan agunan untuk menetapkan kewajiban timbal-balik. Karena itu, bila saudara membayar pajak, maka saudara berhak memperoleh sistem politik yang memungkinkan keadilan itu diwujudkan. Bila saya patuh pada hukum, maka saya berhak menerima rasa aman dari negara. Tetapi urusan inilah yang kini amat jauh dari harapan publik. Para perusak hukum justeru dilindungi negara. Para pengemplang pajak, justeru dirangkul negara. Dan dalam urusan sistem politik, kita berhadapan dengan persekongkolan politik kartel yang memonopoli distribusi sumber daya politik dan ekonomi. Bahkan oligarki kekuasaan yang sesungguhnya, hanya melibatkan dua-tiga tokoh kunci yang saling menyogok, saling tergantung, dan saling mengintai. Politik menjadi kegiatan personal dari segelintir elit yang terjebak dalam skenario yang saling mengunci karena masing-masing terlibat dalam persekutuan pasar gelap kekuasaan pada waktu Pemilu.
Ketergantungan politik pada uang-lah yang menerangkan persekongkolan itu. Pertaruhan ini tidak ada hubungannya dengan politik ideologi, karena relasi personal telah menyelesaikan persaingan ideologi. Relasi itu tumbuh karena pelembagaan politik tidak berlangsung. Artinya, sistem kepartaian modern dan sistem parlemen kita tidak tumbuh di dalam kebutuhan untuk membudayakan demokrasi, tetapi lebih karena kepentingan elitis individual. Pemahaman tentang dalil-dalil bernegara tidak diajarkan di dalam partai politik. Etika publik bukan merupakan prinsip politik parlemen. Bahwa seolah-olah ada kesibukan mengurus rakyat, itu hanya tampil dalam upaya mempertahankan kursi politik individual, dan bukan karena kesadaran untuk memberi pendidikan politik pada rakyat. Parlemen adalah kebun bunga rakyat, tetapi rakyat lebih melihatnya sebagai sarang ular. Tanpa gagasan, minim pengetahuan, parlemen terus menjadi sasaran olok-olok publik. Tetapi tanpa peduli, minim etika, parlemen terus menjalankan dua pekerjaan utamanya: korupsi dan arogansi.
Defisit akal di parlemen adalah sebab dari defisit etika. Arogansi kepejabatan digunakan untuk menutupi defisit akal. Maka berlangsunglah fenomena ini: sang politisi yang sebelumnya menjadi pengemis suara rakyat pada waktu Pemilu, kini menyatakan diri sebagai pemilik kedaulatan. Seperti anjing yang menggonggongi tuannya, politisi memutus hubungan historisnya dengan rakyat, dan mulai berpikir menjadi pengemis baru. Kali ini, bukan pada rakyat, tetapi pada kekuasaan eksekutif. Faktor inilah yang menerangkan mengapa oposisi tidak dapat bekerja dalam sistem politik kita. Tukar tambah kepentingan antara eksekutif dan legislatif bahkan berlangsung sampai urusan "titik dan koma" suatu rancangan undang-undang. Transaksi itu sering tidak ada kaitannya dengan soal-soal ideologis, karena memang motif koruptiflah yang bekerja di bawah meja-meja sidang.
Asal-usul politik koruptif ini terkait dengan tidak adanya kurikulum "kewarganegaraan" dalam semua jenjang pendidikan nasional. Sistem pendidikan kita tidak mengorientasikan murid pada kehidupan publik. Konsep "masyarakat" di dalam kurikulum sekolah tidak diajarkan sebagai "tanggung jawab merawat hidup bersama", tetapi lebih sebagai kumpulan ajaran moral komunal yang pertanggungjawabannya diberikan nanti di akhirat. Konsep "etika publik" tidak diajarkan sebagai keutamaan kehidupan "bermasyarakat".
Memang, amandemen konstitusi tentang tujuan pendidikan nasional bahkan lebih mengutamakan pendidikan "akhlak" ketimbang "akal". Konsekuensinya terhadap kehidupan Republik sangatlah berbahaya karena warganegara tidak dibiasakan sejak dini untuk secara terbuka berargumen. Sangatlah bertentangan misi pendidikan itu dengan imperatif konstitusi kita yang mewajibkan kita "melihat dunia" melalui "kecerdasan" dan "perdamaian". Sesungguhnya filsafat publik kita semakin merosot menjadi pandangan sempit dan picik, karena pertarungan kecerdasan di parlemen di dalam membela ide masyarakat bebas tidak dapat berlangsung. Pengetahuan dan pemahaman konseptual tentang ide Republik lebih banyak diucapkan dalam retorika "nasionalisme", dan karena itu kedudukan primer konsep "warganegara" tidak cukup dipahami.
"Kewarganegaraan" adalah ide tentang tanggung jawab warganegara lintas politik, lintas komunal. Realisasinya memerlukan pemahaman fundamental tentang etika parlementarian, yaitu bahwa "kedaulatan rakyat" tidak pernah diberikan pada "wakil rakyat". Yang diberikan hanyalah kepentingan rakyat tentang satu isu yang secara spesifik didelegasikan pada "si wakil", dan karena itu dapat ditarik kembali setiap lima tahun. Juga dalam tema ini kita pahami bahwa "kedaulatan rakyat" tidak sama dengan "mayoritarianisme". Kedaulatan rakyat justeru difungsikan untuk mencegah demokrasi menjadi permainan politik golongan mayoritas. Itulah sebabnya kedaulatan rakyat tidak boleh dikuantifikasi dalam statistik atau dalam hasil Pemilu.
Defisit politik warganegara juga adalah akibat dari surplus politik feodal. Hari-hari ini hegemoni kultur politik feodal itu masuk dalam politik publik melalui langgam perpolitikan istana, ketika "kesantunan" menyisihkan "kritisisme". Dan kultur itu terpancar penuh dari bahasa tubuh Presiden. Prinsip yang berlaku adalah: kritik politik tidak boleh membuat kuping Presiden menjadi merah.
Feodalisme adalah sistem kekuasaan. Kita tentu tidak menemukannya lagi dalam masyarakat modern. Tetapi seorang penguasa dapat terus mengimajinasikan dirinya sebagai "raja", "tuan", "pembesar" dan sejenisnya, dan dengan kekuasaan itu ia menyelenggarakan pemerintahan. Kita justeru merasakan itu dalam kepemimpinan politik hari-hari ini, dalam diskursus bahasa tubuh, dalam idiom-idiom tatakrama, dalam simbol-simbol mistik, bahkan dalam politik angka keramat.
Di dalam kultur feodalistik, percakapan politik tidak mungkin berlangsung demokratis. Bukan saja karena ada hirarki kebenaran di dalam diskursus, tetapi bahkan diskursus itu sendiri harus menyesuaikan diri dengan "aturan politik feodal", aturan yang tak terlihat namun berkekuasaan. Sangatlah aneh bila kita berupaya menyelenggarakan sebuah birokrasi yang rasional dan impersonal, tetapi mental politik yang mengalir dalam instalasi birokrasi kita masih mental feodal.
Konsolidasi demokrasi memang sudah tertinggal oleh akumulasi kekuasaan. Enersi yang pernah kita himpun untuk menghentikan otoritarianisme, tidak lagi cukup untuk menggerakkan perubahan. Sebagian disebabkan oleh sifat politik reformasi yang amat "toleran", sehingga memungkinkan seorang jenderal pelanggar HAM duduk berdebat semeja dengan seorang aktivis HAM, mengevaluasi kondisi demokrasi. Juga tidak aneh menyaksikan seorang tokoh terpidana korupsi menjadi narasumber sebuah talkshow yang membahas arah pembangunan nasional. Transisi yang amat toleran itu telah meloloskan juga obsesi-obsesi politik komunalistik yang hendak mengatur ruang politik publik dengan hukum-hukum teokrasi. Di dalam keserbabolehan itulah kekuasaan politik hari-hari ini menarik keuntungan sebesar-besarnya. Tetapi berdiri di atas politik uang dan politik ayat, kekuasaan itu kini tampak mulai kehilangan keseimbangan. Antara tergelicir ke dalam lumpur, atau tersesat di gurun pasir, kekuasaan itu tampak kelelahan untuk bertahan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar