Jumat, 31 Desember 2010
saya pikir semua malam sama saja,,,,,,,,
akhirnya jam 9 malam juga,saya pulang,dengan keadaan,macet,pusing,setumpuk tugas sudah menanti saya,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,ternyata bagi saya semua malam sama saja,,,,
Rabu, 22 Desember 2010
Damai Berfiksi..............................................
“Setiap aksara adalah senjata.
Begitulah sebuah ungkapan yang saya kutip dari sebuah iklan ditelevisi.
Damailah bersama fiksi.
Sebab fiksi adalah ungkapan bahasa sastra yang bebas namun syarat akan makna.Setiap untaian-untaian katanya mengandung keindahan tersendiri.
Tak ada batasan dalam menggunakan kata-kata dalam berfiksi,selagi kata-katanya saling berhubungan satu sama lainnya dalam satu rangkaian dalam tulisan yang dihasilkan.
Tak ada yang bisa melarang ungkapan bahasa anda,tak ada provokasi negatif dalam karya fiksi anda,yang ada hanyalah sebuah ungkapan yang mengandung keindahan.Sebab fiksi adalah seninya bahasa.
Anda ingin damai,menghindari tulisan-tulisan yang menyesakan dada dan memancing emosi anda ?
Segera buka kanal fiksi,maka anda akan dibuat larut dalam kedamaian kata-kata yang penuh dengan keindahan dan menginspirasi anda serta membawa anda turut serta dalam imaginasi liar para penulisnya.
Damailah bersama fiksi,dan rasakan bedanya,hehe…
Selamat mencoba
salam
orang gila
Cara Acer Mempertahankan Konsumennya
Mohon maaf sebelumnya, tulisan ini bukan mempromosikan produk si ‘hijau’ , Acer, cuma sekedar berbagi rasa dan berbagi pengalaman dengan sesama blogger.
———–
Tidak peduli anda pengguna Acer atau tidak, tapi cobalah bergabung dengan halaman Acer Indonesia di facebook, dan anda akan merasakan seperti yang saya rasakan dan berpikir, kenapa Acer bisa mempertahankan pangsa pasar nomor satu di Indonesia selama beberapa tahun ini.
Saya menjadi ‘fans’nya sudah 10 hari, dan apa yang membuat mereka dengan produsen yang lain?? sejauh yang saya amati di dunia fb, halaman teraktif dari beberapa merk yang beredar di Indonesia adalah Acer sendiri. ternyata selain melakukan purna jual di dunia nyata, mereka benar-benar mengahargai pelanggan seperti raja dengan memanfaatkan situs pertemanan nomor satu sejagat tersebut.
Hal itu terlihat dari betapa seringnya mereka untuk mengupdate status, bukan hanya update status tentang produk dan promosi yang sedang mereka lakukan. tapi sekedar untuk menyapa, menyampaikan salam, menanyakan kabar, mengutip perkataan orang-orang berpengaruh di dunia supaya para konsumennya ikut termotivasi dalam menjalani aktivitasnya. Tidak lupa, tips dan info menarik seputar teknologi pc/laptop tak pernah mereka lewatkan
Ada lagi, setiap status yang dikomentari oleh ‘fans’nya baik berupa pertanyaan, saran atau tips, pihak admin Acer dengan cepat langsung menanggapi semuanya itu. apalagi ketika para konsumennya menanyakan di dinding halamannya, Acer selalu menanggapinya. Dan yang terakhir, mereka aktif dari pagi sampai malam.
Acer Indonesia memang tahu mempertahankan dan menggaet konsumen dengan memanfaatkan media facebook sebagai saluran utama untuk berinteraksi dan mengapresiasi pelanggannya.
Selasa, 21 Desember 2010
IBU SAYA IBU NOMER 1 DIDUNIA,BAPAK SAYA JUGA
selang 15 menit,hape saya kok borokokoknya bunyi,udah saya angkat,isi,"DEK FAISAL,BAPAK MAU TANYA,SEMESTERANNYA KAPAN".ohetrnyata bapak yang sms,sampai saya berfikir duh bapak saya emang bapak nomer satu,setiap detil tentang saya pasti dia tau,iseng2 aku aku liet kalender pendidikan,oh skarang tanggal 22,hari ibu brati,cepat2 saya nyomot hape saya,cukup saya yang tau isi smsnya,buk,aku kangen,buk aq pingin didulang,buk aq pingin dicritani,jujur saya sayang sekali dengan ibu saya,selamat hari ibu,love you mom,ibuku ibu nomer 1 didunia,bapakku bapak paling hebat sedunia,muahmuahmuahmuahmuah,dah dulu ya dosen demografi dah dateng ni,
Rabu, 01 Desember 2010
Ibu Bapak Terima Kasih . engkau adaLah hidupku.
Ibu Bapak , Terima Kasih ku atas bimbinganmu’ Pagi hari engkau harus rela bangun pagi hanya untuk menyiapkan keperluan anak anakmu ‘ sarapan’ sekolah walapun anak-anak masih tertidur hangat dengan selimutnya ‘ engkau relakan waktumu’ meski engkau masih menggigil kedinginan dalam keadaan masih mengantuk , siang hari engkau cucurkan keringat di kala mencari nafkah untuk anak-anakmu’ meski terkadang tanpa engkau rasakan betapa panas’nya terik matahari . kadang tengah malam engkau reLa bangun ‘ pergi ke pasar untuk menjuaL hasiL panen hanya demi anak-anakmu , memenuhi kebutuhan makan ‘ sekoLah ‘ dan segalanya . engkau korbankan waktu tenaga pikiran
IbuBapak’ku ,Love you .
Engkau bagian dari hidupku’
Ibu Ibu IbuBapak’ku . aku reLa Ihklas Dunia Akhirat menangung semua kesalahan yang pernah terjadi . aku reLa aku ihklas menanggung nya Dunia Akhirat ,Amin . . . .
kini aku teLah beranjak dewasa .
IbuBapak’ku ingin secepatnya aku membahagiakanmu . Love You .
Bagaimana kita menghargai HIDUP :)

Bismillahirrahmaanirrahiim. Menulis bagi saya adalah cara terbaik untuk memotivasi dan menasihati diri sendiri, dan tentunya salah satu cara saya untuk mensyukuri anugerah ilmu dan hikmah yang Tuhan berikan. Di saat saya sedang kesal dan atau terinspirasi, media yang selalu menjadi curahan hati saya dan pengejawantahan pemikiran saya ya menulis. Pun seperti pagi ini ketika saya merasa sangat semangat dan mencoba mengurai beberapa hikmah dari apa yang sudah terjadi beberapa hari ke belakang. Hidup ituuu… bagi saya menghargai. Golongan pertama adalah orang yang sangat fokus melihat kelebihan diri dia sendiri tapi di lain pihak ia sangat fokus melihat kekurangan orang lain. Ia merasa bahwa ia adalah orang yang sangat hebat di antara orang-orang di sekitarnya. Apa yang ada dalam pemikirannya adalah yang paling benar. Dan ada golongan kedua di mana ini terjadi sebaliknya, ia lebih fokus memandang kekurangannya sendiri dan begitu tidak percaya diri ketika membandingkan dengan kelebihan yang dimiliki orang lain. Okei, katakan saja golongan pertama itu orang yang sangat percaya diri dan golongan kedua adalah orang yang sangat pesimis. Lalu harus seperti apa sih kita? Selalu, yang lebih baik adalah di antaranya. Tidak berlebihan di sisi yang manapun. Bijak menyikapi kelebihan diri sendiri sebagai semangat untuk melakukan banyak hal hari ini. Bagi saya, baik kelebihan maupun kekurangan adalah aset yang kita miliki yang akan menentukan sukses atau tidak dan bahagia atau tidak hidup kita, bagaimana kita menyikapinya. | |
INDAHNYA BERBUAT BAIK DAN BERGUNA BAGI ORANG LAIN
hmmmmmmm… ternyata ga rugi berbuat baik sama orang lain.,,,, karena hidup ini akan lebih bermakna jika kita berguna bagi orang lain…. sungguh aku merasakan hai itu saat dulu dan sekarang.. so buat semua teman-teman selalu berusaha untuk dapat berguna bagi orang lain,,, agar mereka selalu merindukan kita…. SALAM DAHSYAT..!! | |
Memaafkan itu indah, tetapi meminta maaf itu lebih indah

Belajar Memaafkan Hidup ini adalah sebuah pembelajaran. ..
Dan satu hal yang sering kita lupa adalah… “ MEMAAFKAN “
Sekedar berbagi cerita tentang sepatah kata yang bernama…. maaf.
Tentang beberapa istilah atau pernyataan yang rasanya logis… namun pada kenyataannya. .. kok ngga gitu yaaa…
1. Kalau dia salah, ya dia minta maaf saya ga salah, buat apa saya minta maaf. Gengsi ah. Biar dia tahu diri dong. Enak aja… Sebuah kalimat, yang terdengarnya wajar… dan logis.
Namun perlu disadari memang itulah harga sebuah gengsi. Harga sebuah hubungan baik… seringkali mesti dibayar dengan satu hal yang namanya gengsi. Kita mesti mengikis apa yang
disebut harga diri dan juga keangkuhan.Hubungan baik dan gengsi itu berbanding terbalik. Anda harus mengorbankan salah satu, untuk memperoleh yang lainnya.
Dalam banyak pertengkaran dan clash…
kesalahan umumnya tidak cuma ada di salah satu pihak. Kebanyakan dua pihak melakukan kesalahan… meski mungkin kadarnya tidak seimbang. Yang sering jadi masalah itu karena kedua pihak sama-sama tidak merasa bersalah…
berpikir bahwa orang lainlah yang sepantasnya datang kepada dirinya dan minta maaf. Dan sebagai akhir… tidak ada titik temu.
Pertengkaran tidak berakhir. Sahabat, mulailah dengan berkata, maaf… meski mungkin Anda tahu Anda tidak benar – benar bersalah. It’s really better for your heart. Ingat bahwa salah satu
kunci untuk hidup bahagia adalah:
melepaskan diri dari perasaan marah dan dendam. saya belajar menerapkannya, dan saya… lebih bisa merasa damai, (Walau sangat berat untuk memulainya)
Untuk orang-orang yang bahkan belum meminta maaf atas kesalahannya saya tetap berpikir, saya memaafkan mereka.
Mungkin aja mereka ngga sadar atau belum tahu kalau mereka itu salah. Namun sekali lagi, belajar untuk bisa memaafkan. Mungkin mereka hanya…
belum tahu kalau hal seperti itu tidak baik adanya.
2. saya mau balas dia supaya dia sadar dan berubah Alasan yang terkesan heroik dan baik.
saya melakukannya
untuk kebaikan dia. Supaya dia bisa bertobat dan jadi lebih bener. Waw…
Namun sayangnya dalam banyak hal, perkataan semacam ini lebih sering untuk memuaskan keinginan diri sendiri daripada orang lain. Secara sadar maupun tidak, manusia itu punya kecenderung an untuk merasa puas jika ia berhasil mempengaruhi orang lain.
Dalam teori kepemimpinan, ini disebut dengan needs of power. Keinginan untuk dituruti. Pembalasan bukanlah jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah. Anda tidak akan menjadi orang yang terlalu pengecut dengan tidak membalas perbuatan jahat yang orang lain lakukan kepada km. Kasihilah orang lain, meski Anda tahu mereka berbuat jahat kepada kamu. Mulailah dengan memaafkan. .. bukan dengan menuntut sebuah perubahan.
3. Waktu akan menyembuhkan luka hati Biar waktu yang bicara.
Hmm, terdengar bijak dan hebat. Waktu memang akan memulihkan semua kebencian dan dendam… jika diawali dengan kesediaan untuk membuka diri dan hati. Untuk mau memaafkan. Waktu tidak akan membuat hubungan menjadi pulih… tanpa adanya kesediaan untuk memaafkan.
Waktu hanya akan mengorek luka semakin dalam dan membuat semua perasaan semakin tak karu-karuan.
Jangan pernah berpikir bahwa waktu cukup untuk menyembuhkan. Kesediaan untuk memaafkan… itulah yang pertama – tama harus ada. Bukan sekedar mengharap … waktu bicara.
maaf bila ada yg kurang berkenan dengan tulisan ini…
“Memaafkan itu indah… tetapi meminta maaf itu lebih indah”
Sabtu, 27 November 2010
Memfasilitasi Mentalitas Sosial

Menguatnya mentalitas anti-sosial dan melemahnya mentalitas sosial secara umum dipengaruhi oleh tiga faktor. Pertama, model dan contoh dalam kehidupan sosial di masa kini dan lalu. Kedua, aktivasi nilai-nilai dan cara berpikir yang perannya dipegang oleh pendidikan dan pola asuh, termasuk melemahnya hubungan saling-percaya dan solidaritas. Ketiga, faktor pembiasaan yang terwujud dalam sistem hukum dan sosial.
Faktor model dan contoh perlu diintervensi dengan memperbanyak model dan contoh yang baik. Tak dapat dipungkiri bahwa tokoh-tokoh elit politik, selebritis atau pemuka agama masih banyak dianggap sebagai model yang patut ditiru. Sayangnya sejauh ini di Indonesia lebih banyak contoh yang buruk dari model-model yang buruk. Tokoh-tokoh politik banyak menunjukkan perilaku yang justru anti-sosial, saling bertikai, mementingkan kursi kekuasaan dan berkinerja buruk di parlemen. Pejabat dan mantan pejabat banyak diduga terlibat kasus KKN. Mereka yang dilabel sebagai selebritis banyak menampilkan gaya hidup non-produktif dengan kondisi rumah tangga kacau balau tanpa contoh-contoh konstruktif. Lalu, tak sedikit pemimpin agama yang menampilkan perilaku intoleran terhadap kelompok kepercayaan lain, memaksakan keyakinannya untuk dijadikan dasar kehidupan bernegara.
Intervensi sosial diperlukan untuk menghasilkan model yang baik dengan contoh-contoh mentalitas sosial. Pemilihan umum yang representatif yang memberi kesempatan terpilihnya tokoh-tokoh dengan mentalitas sosial jadi agenda penting untuk segera dilaksanakan. Acara-acara yang menampilkan selebritis berprestasi dan bermentalitas sosial perlu diperbanyak. Lalu dialog-dialog yang simpatik, terbuka, argumentatif dan harmonis antara tokoh-tokoh agama bisa diharapkan memberikan contoh yang baik bagi masyarakat Indonesia.
Pendidikan dan pola asuh yang memfasilitasi anak berpikir kritis dan terbuka, toleran dan berorientasi pada penyelesaian masalah menjadi agenda penting dan mendesak bagi Indonesia. Lewat pendidikan dan pola asuh yang memadai, mentalitas sosial dapat dikembangkan. Sudah banyak metode pendidikan dan pola asuh yang terbukti menghasilkan manusia-manusia yang tangguh dalam menyelesaikan masalah jamannya dan memberi kontribusi besar bagi peningkatan kesejahteraan manusia. Artinya, rujukan bagi pelaksanaan pendidikan dan pola asuh yang memfasilitasi mentalitas sosial sudah tersedia, tinggal kehendak untuk memanfaatkannya.
Persoalan yang terberat usaha mengaktivasi nilai-nilai sosial terletak pada pendidikan. Kondisi pendidikan tahun ini tidak berbeda jauh dengan kondisi 10 tahun lalu seperti yang dilaporkan oleh Kenedi Nurham dalam Lorong Panjang; Laporan Akhir Tahun 2001 Kompas: tetap memprihatinkan. Perbaikan pendekatan, metode dan teknik belajar-mengajar dalam semua jenjang pendidikan formal perlu mendapatkan perhatian yang serius. Sudah beberapa kali dibuat kebijakan perbaikan kurikulum dan metode pengajaran tetapi pada pelaksaannya praktek pendidikan formal masih juga menggunakan pendekatan dan pola-pola pengajaran lama, sementara pendidikan informal seperti dimatikan dari waktu ke waktu.
Pendidikan formal dan informal seharusnya dapat berperan besar menghasilkan manusia-manusia dengan mentalitas sosial jika memiliki visi yang sesuai dengan tujuan kehidupan sosial meningkatkan kesejahteraan anggota-anggotanya. Metode pengajaran yang menitikberatkan pada penyediaan kesempatan bagi siswa untuk memperoleh pengalaman yang konstruktif dan beragam, berorientasi pada penyelesaian masalah dan kesiapan untuk berbeda pendapat serta pemahaman sosial yang komprehensif perlu dirancang dan diterapkan. Pendidikan partisipatoris dalam komunitas-komunitas di berbagai wilayah perlu dirancang dan digalakkan untuk peningkatan kesadaran tentang perlunya metalitas sosial. Dengan pendidikan (formal dan informal) yang memfasilitasi siswa atau peserta didik untuk mandiri dalam memahami perkembangan-perkembangan di lingkungannya dilengkapi dengan kepekaan sosial dapat akan berperan besar dalam pembentukan mentalitas sosial.
Faktor pembiasaan yang terwujud dalam sistem hukum dan sosial tentu saja perlu diintervensi. Konsistensi dan keberlanjutan dari penerapan hukum, mekanisme reward (penghargaan) dan punishment (hukuman/sanksi) serta ketegasan dan kewibawaan aparat hukum sangat diperlukan. Begitu pula dengan norma-norma sosial dan kesepakatan hidup bersama yang didasari oleh kepentingan semua warga perlu ditegaskan. Masyarakat Indonesia yang plural menuntut curahan tenaga dan pikiran yang sangat besar untuk dapat merumuskan kembali kesepakatan hidup bersama dalam negara republik Indonesia. Pelibatan seluruh warga negara dan mekanisme partisipasi politik rakyat yang jelas dan efektif dapat memfasilitasi terbentuknya mentalitas sosial pada manusia Indonesia.***
Trust dan Solidaritas

Mentalitas sosial ditandai dengan menonjolnya trust (kepercayaan) dan solidaritas. Keduanya adalah unsur pengikat dan penjalin integrasi sosial. Trust adalah harapan, tingkahlaku jujur dan kerjasama yang muncul dalam sebuah komunitas tempat hidup sehari-hari dan didasari oleh norma bersama (Fukuyama, 1996). Norma-norma itu dapat berkenaan dengan nilai yang mendalam tentang hakikat Tuhan atau keadilan, tetapi bisa juga mengenai norma sekular seperti standar profesional dan panduang bertingkahlaku.
Percaya pada diri sendiri mensyaratkan kepercayaan kepada orang lain sebab seseorang selalu mengidentifikasi dirinya dalam kehidupan bersama; selalu membutuhkan dan belajar dari orang lain. Tak ada diri yang terisolasi sebab keberadaan manusia selalu merupakan keberadaan bersama manusia lain. Dunia manusia adalah dunia bersama. Percaya pada diri sendiri berarti percaya bahwa orang dapat menjadi dirinya sendiri karena orang lain akan selalu bersama membantu; bahwa kita tak pernah sendirian menjalani hidup ini dan orang-orang hadir bersama sebagai mitra.
Solidaritas diartikan sebagai proses pengambilan tanggungjawab hubungan kita dengan orang lain secara aktif dengan cara mengedepankan keragaman, otonomi, kerjasama, komunikasi, dan berbagi daya (Miller, 2004). Dalam solidaritas ada proses kolektif untuk aktif mengambil tanggungjawab terhadap hubungan antar anggota dalam kebersamaan. Ketika orang-orang mempraktekkan solidaritas, mereka mengenali bahwa nasib mereka terpaut dengan nasib orang lain.
Melalui solidaritas orang mengenali keragaman, otonomi, daya, dan martabat orang lain. Orang memahami perjuangannya untuk bebas dan penuh kegembiraan tidak terpisah atau berjarak dengan orang lain. Solidaritas berperan sebagai sebuah praktek etis dari perjuangan bersama. Solidaritas merupakan praktek pengasuhan berbagai nilai yang saling berkaitan bersama-sama dengan sesama manusia dalam sebuah komunitas. Nilai-nilai itu terdiri dari: kesatuan dalam keragaman, berbagi kuasa sebagai lawan dari menguasai orang lain, otonomi (baik pada individu maupun kolektif), komunikasi (dalam arti komunikasi horisontal, bukan dari atas ke bawah), kerjasama dan saling-membantu (perjuangan bersama), serta keberakaran pada yang lokal dan keterhubungan dengan yang global (Diephouse, 2006).
Trust atau kepercayaan terbentuk dalam kebersamaan yang anggotanya saling menghargai keunikan, daya dan martabat satu sama lain. Solidaritas memungkinkan kebersamaan seperti itu. Dengan solidaritas, seseorang memperlakukan orang lain sebagai orang yang peduli terhadapnya, sebagai tempat yang memadai untuk bertukar pikiran dan dimintai bantuan. Solidaritas menjadikan orang-orang saling percaya. Dengan demikian, dapat disimpulkan solidaritas memfasilitasi hubungan saling-percaya.
Mentalitas Sosial vs Mentalitas Anti-Sosial


Dari sudut pandang psikologi, titik fokus kajian untuk memahami rentetan perilaku menyimpang di Indonesia disorotkan pada faktor mentalitas. Istilah mentalitas merujuk pada karakteristik mental yang didasari oleh norma tertentu, mencakup nilai (value), sikap, cara pikir, pola pengolahan informasi dan pengambilan keputusan serta orientasi tindakan. Faktor mentalitas ini perlu diletakkan dalam konteks masyarakat sebagai perwujudan kesepakatan hidup bersama untuk mencapai kesejahteraan (well-being) bersama.
Hidup bersama berarti menyelesaikan seluruh persoalan melalui kata-kata, perundingan dan persuasi, bukan dengan paksaan atau kekerasan. Sebagai kumpulan orang yang ingin hidup bersama untuk mencapai kesejahteraan yang lebih baik, masyarakat Indonesia membutuhkan ikatan antara warga negara. Perasaan senasib sepenanggungan, simpati dan kesetiakawanan yang didasari oleh konvensi-konvensi yang dituangkan dalam bentuk undang-undang dan peraturan tanpa paksaan dan kekerasan. Oleh sebab itu mentalitas yang diharapkan terbentuk adalah mentalitas yang siap untuk bernegosiasi dengan kata-kata serta kompromi tanpa paksaan dan kekerasan. Sebut saja mentalitas semacam ini sebagai ‘mentalitas sosial’.
Namun, tak sulit kini untuk melihat indikasi-indikasi retaknya perasaan senasib, putusnya rantai simpati dan kendurnya kesetiakawanan di Indonesia. Kehidupan bermasyarakat di Indonesia seolah menjelma wilayah tak bertuan yang boleh diperlakukan semaunya oleh orang-orang yang ada di dalamnya. Pemerintah berjalan sendiri, kelompok-kelompok rakyat dalam keragaman yang tinggi masing-masing bergerak sendiri. Begitu pula wakil rakyat di parlemen, seolah asyik sendiri dengan upaya pemenuhan kebutuhannya, sibuk dengan konflik-konflik internal partai sementara produktivitas mereka tergolong rendah.
Setelah sekian banyak konflik, tindak kekerasan, meningkatnya kriminalitas dan mengganasnya ‘pengadilan massa’ dalam 10 tahun terakhir, sederetan pertikaian sosial dan peledakan bom terjadi di Indonesia sejak 1 januari 2002. Salah satu puncaknya, 12 Oktober 2002 ledakan bom di Bali yang dianggap terbesar baik dari segi daya ledak dan jumlah korban maupun pengaruhnya terhadap Indonesia dan dunia. Setelah itu, di Makasar terjadi juga ledakan di sebuah restoran McDonald pada malam takbiran Iedul Fitri 5 Desember 2002. Beberapa bentuk kekerasan itu masih terjadi hingga tahun 2010. Tanggal 30 Mei 2010, lebih dari 80 rumah dibakar dalam sebuah bentrokan antar warga di Duri Kosambi-Cengkareng, Jakarta Barat. Perampokan bersenjata dilakukan terhadap Bank CIMB Niaga Medan pada tanggal 18 Agustus 2010 oleh 16 orang bersenjata yang memakan korban 1 anggota Brimob. Tak lama setelah itu terjadi penyerbuan kantor Polsek pada tanggal 22 September 2010 yang memakan korban jiwa 3 orang petugas kepolisian. Seperti susul-menyusul dengan peristiwa kekerasan terdahulu, tanggal 26-27 September terjadi bentrok antar-kelompok di Tarakan yang memakan korban 5 orang, lalu tanggal 29 September bentrok antar-kelompok di Jl. Ampera Jakarta menewaskan 3 orang yang terlibat bentrok itu. Selain kejadian yang disebut barusan, bentrokan aparat dan warga, polisi dan demonstran, juga antar suporter sepak bola, masih mewarnai kehidupan sosial Indonesia. Hingga kini, belum ada tanda-tanda kekerasan di Indonesia akan berhenti.
Tingkahlaku-tingkahlaku yang ditampilkan manusia Indonesia masa kini itu merupakan indikasi dari sebuah ‘mentalitas anti-sosial’ dalam pengertian cara berpikir sepotong-sepotong, tak punya simpati dan empati pada pihak lain, tanpa kesadaran bahwa kehidupan bersama dengan beragam orang perlu didasari tujuan mencapai kesejahteraan bersama, serta berpikiran tertutup terhadap kemungkinan perbedaan dalam ruang sosial. Mentalitas anti-sosial ini mengarahkan manusia-manusia dalam sebuah masyarakat untuk bertindak dengan cara pikir, norma dan aturan sendiri-sendiri, memaksakan kehendak partikular sebagai kehendak umum, berfokus pada pencapaian kesejahteraan pribadi atau kelompok kecil, menafikan kesejahteraan pihak lain, memaksa dan menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan.
Berakar Pada Budaya, Diperkuat Praktek Sosial

Sudah banyak yang mendeteksi bahwa pesoalan-persoalan sosial yang dihadapi masyarakat Indonesia kini memiliki kompleksitas yang tinggi serta punya akar sejarah yang dalam dan panjang. Apa yang terjadi di masa lalu tak begitu saja hilang jejaknya di masa kini. Membongkar persoalan sosial masa kini berarti juga membongkar sejarah masa lalu.
Kepribadian manusia Indonesia adalah produk dari masa lalu kehidupan masa kini yang berinteraksi dengan masa lalu dan harapan di masa depan. Artinya, kerpibadian manusia juga dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya, baik di masa kini maupun masa lalu.
Faktor sosial dan budaya dalam kepribadian manusia dapat digali dari ketidaksadaran kolektif (collective unconsciousness) dalam kepribadian manusia yang menampung bekas-bekas ingatan laten warisan masa lampau leluhurnya (Jung, 1953). Di sana dapat ditemukan arkhetipe, ide-ide yang diturunkan oleh nenek-moyang manusia yang sangat penting dan besar pengaruhnya terutama terhadap perkembangan sejarah manusia. Arkhetipe menjadi aktif dengan dipicu oleh peristiwa-peristiwa yang secara emosional membangkitkan ingatan akan ide-ide yang dikandungnya. Secara umum, ada arkhetipe yang mendukung nilai-nilai sosial seperti ide tentang kepahlawanan, kerja sama, kebijaksanaan, peduli pada orang lain dan sejenisnya. Ada juga arkhetipe yang bertentangan dengan nilai-nilai sosial seperti penyelesaian masalah dengan agresi, perasaan terancam, mementingkan diri sendiri, menjajah, menindas dan sebagainya.
Sejarah Indonesia menunjukkan lebih banyak penguatan untuk arkhetipe yang bertentangan dengan nilai-nilai sosial. Sejak jaman pra-kolonial hingga awal abad ke-21, kekerasan banyak digunakan dalam penyelesaian masalah (Nordholt, 2002). Dari sejarah juga dapat diketahui bahwa sejak jaman pra-kolonial masyarakat Indonesia lebih banyak hidup dalam kekangan penguasa politik, tidak bebas menentukan diri sendiri, hidup di bawah kekuasan raja-raja, dijajah pemerintah kolonial, gejolak politik masa Orde Lama dan menjalani represi di masa Orde Baru. Indikasi yang kuat menunjukkan bahwa berbagai warisan instingtif kebinatangan dari leluhur manusia Indonesia juga sangat mungkin menjadi rujukan. Ini dapat dilacak pada berbagai penggunaan lambang binatang untuk menunjuk orang-orang yang dianggap tangguh, misalnya harimau, ular, buaya dan banteng. Berbagai pertikaian, kerusuhan, tindakan balas dendam, dan pertentangan antara golongan yang disertai bentrokan fisik yang memakan ribuan nyawa merupakan bentuk-bentuk perilaku impulsif dan irasional. Irasionalitas tampak jelas pada kecenderungan yang tinggi untuk percaya pada hal-hal yang gaib, bertebarannya ramalan-ramalan mitis, larisnya paranormal dan dukun, merebaknya media massa cetak yang bertopik mistik dan supranatural, terbitnya banyak buku kebatinan serta bermunculannya aliran-aliran spiritual dengan jumlah pengikut yang besar. Kondisi itu dapat dipahami sebagai upaya menyalurkan berbagai dorongan yang terepresi merujuk pada berbagai arkhetip yang bernilai anti-sosial.
Secara individual perilaku yang mengindikasikan mentalitas anti-sosial dapat dipahami dari aspek kognitif (pikiran) yang mencakup pola pengolahan informasi dan cara berpikir. Pembakuan cara berpikir dan pola pengolahan informasi yang dikondisikan dalam pendidikan dan pola asuh menghasilkan kognisi yang malas pada banyak manusia Indonesia. Kecenderungan menggunakan pola-pola lama, tradisi dan jalan pintas memperkuat perujukan kepada arkhetipe. Parahnya, arkhetipe yang lebih teraktivasi oleh sejarah kebanyakan adalah arkhetipe anti-sosial.
Dapat disimpulkan bahwa pembentukan dan pembiasaan mental anti-sosial berakar baik dalam budaya yang diturunkan dari generasi ke generasi maupun praktek sosial di masa kini. Sejarah menunjukkan model yang buruk bagi pengembangan mentalitas dalam kehidupan sosial Indonesia. Sedangkan dalam praktek sosial, internalisasi nilai-nilai sosial lebih menekankan faktor tradisi yang melemahkan kemampuan berpikir dan daya kritis, sebaliknya malah mengarahkan manusia Indonesia pada mentalitas anti-sosial.
Mentalitas Sosial, Saling-Percaya dan Solidaritas

Hingga menjelang akhir tahun 2010 Indonesia masih sarat dengan perilaku menyimpang. Media massa sarat dengan berita tentang penyimpangan-penyimpangan sosial dalam bentuk kekerasan, pelecehan, korupsi, tindakan ‘main hakim sendiri’, pencurian dan perampokan dalam berbagai lapisan masyarakat secara individual dan kolektif. Dalam konteks Indonesia kini, rentetan perilaku menyimpang itu dapat digolongkan patologi sosial sebab sudah menggerogoti tatanan sosial yang melahirkan ancaman disintegrasi sosial. Ada kecenderungan mempersepsi perilaku menyimpang sebagai perilaku ‘biasa’ (banal) dalam keseharian masyarakat Indonesia.
Dalam literatur psikologi, perilaku menyimpang semacam ini dikenal dengan istilah gangguan psikologis minor yaitu penyimpangan perilaku yang cenderung dianggap wajar karena banyak dilakukan dalam masyarakat sebagai reaksi dari kondisi stres dan frustasi yang dihasilkan oleh kondisi sosial dan budaya tertentu (Wen-Shing Tseng & Jing Hsu dalam Triandis & Draguns (ed.), 1980:61-97).
Beberapa simtom umum gangguan psikologis minor banyak tampil di Indonesia. Kita temukan perilaku-perilaku menyimpang yang berkaitan dengan keyakinan religius tertentu seperti tindakan agresif yang didasari oleh dorongan untuk membela keyakinan seperti perkelahian massal yang memakan korban jiwa dan teror dengan bom. Hampir setiap hari kita saksikan dalam acara-acara berita kriminal di televisi penangkapan terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan seksual yang didasari oleh gangguan psikoseksual seperti pemerkosaan yang dilakukan seorang terhadap anak gadisnya. Perilaku agresif yang brutal dan spontan seperti membunuh kawan sendiri tanpa alasan yang jelas dan mengamuk karena merasa terhina ditatap orang lain, bahkan membunuh anak sendiri karena alasan kemiskinan atau frustrasi.
Perilaku menyimpang lain berkaitan dengan ambisi pencapaian ‘prestasi’ tertentu seperti ingin kaya dengan jalan korupsi, lulus lewat mencontek, menjadi sarjana dengan membeli ijasah dan persaingan tidak sehat. Lalu kita temukan juga simtom gangguan tingkahlaku yang mewabah seperti tindakan main hakim sendiri secara massal dengan memukuli atau membakar pelaku kejahatan sampai mati, penghancuran tempat-tempat hiburan oleh massa dan kepanikan massal akibat ketakutan berlebihan pada satu hal tertentu.
Lebih menyedihkan lagi jenis-jenis perilaku menyimpang itu serentak terjadi di Indonesia dalam kurun waktu yang pendek. Sedang di negara-negara lain masing-masing ditemukan hanya salah satu atau dua dari jenis-jenis perilaku menyimpang yang muncul. Keserentakan perilaku menyimpang itu membuat masyarakat Indonesia dapat digolongkan sebagai masyarakat yang mengalami patologi sosial.
Jumat, 26 November 2010
Dan kita adalah warganegara Dunia...

Soal yang juga terus menimbulkan kemenduaan mental politik kita hari-hari ini adalah masalah globalisasi. Ketakutan untuk masuk dalam percakapan politik global telah menghasilkan reaksi atavistik yang memalukan. Kita menyembunyikan kegagapan kebudayaan kita dengan cara menyulut api nasionalisme, seolah-olah asap tebalnya dapat menghalangi tatapan dunia terhadap praktek politik koruptif dan mental feodal bangsa ini. Nasionalisme menjadi semacam "mantra penangkal bala" setiap kali kita membaca laporan-laporan dunia tentang index korupsi kita yang masih tinggi. Nasionalisme kita pasang sebagai tameng setiap kali diperlukan evaluasi hak asasi manusia dan kebebasan pers oleh masyarakat internasional. Kita tidak memberi isi nasionalisme itu sebagai ide yang dinamis, "in-the-making", tetapi kita menyimpannya sebagai benda mati dan memperlakukannya sebagai jimat politik.
Nasionalisme adalah identitas publik yang seharusnya kita olah dengan akal untuk ditampilkan sebagai modal diplomasi politik dan ekonomi. Nasionalisme masa kini ada pada keunggulan "national brand", dan bukan ditampilkan sebagai psikosis pasca-kolonial.
Dan khusus menyangkut isu neoliberalisme, reaksi kita bahkan nyaris mistik. Kita memakai tameng-tameng tradisi untuk memusuhi suatu alam pikiran yang tidak pernah berwujud di belahan bumi manapun. Kita mengorganisir kemarahan publik untuk memusuhi sesuatu yang adanya hanya di buku-buku filsafat. Tetapi seandainya pun perlawanan itu harus diberikan, kita justeru menolak mengajukan marxisme sebagai lawan filosofi yang sepadan, dan malah menyiapkan ayat-ayat agama sebagai kontra moral baginya. Agaknya, hanya di negeri ini dua ideologi yang bermusuhan, kita musuhi sekaligus. Kita menolak dua-duanya dengan akibat kita tidak pernah paham logika sesungguhnya dari susunan-susunan pikiran itu. Karena itu, retorika dan hiruk-pikuk seputar isu "neolib" terasa lebih sebagai hasil refleks psikologi poskolonial yang dangkal ketimbang hasil refleksi intelektual yang dalam. Akibatnya, slogan neoliberal menjadi stempel politik baru bagi siapa saja yang dianggap mengedarkan kebebasan individu atau mengucapkan dalil-dalil ekonomi pasar. Kita tidak merasa perlu untuk mendalami filsafat itu karena kita lebih mengandalkan emosi yang panas ketimbang analisa yang dingin. Politik stigmatisasi semacam ini tidak mendidik rakyat untuk mengucapkan argumen, karena memang hanya dimaksudkan untuk meneriakkan sentimen.
Di sinilah kita perlu kembali pada akal sehat, yaitu memeriksa konsekuensi politik dari suatu debat palsu tentang ideologi ekonomi. Pada tingkat kebijakan, urgensi untuk memenuhi kebutuhan rakyat tidak lagi diukur berdasarkan sistem-sistem abstrak ideologi, melainkan oleh tuntutan keadilan di dalam politik distribusi. Pemerintah yang korup, di dalam sistem ideologi apapun, pasti menyengsarakan rakyat. Demikian juga, pasar yang efisien tidak dirancang dengan variabel nepotisme di dalamnya. Jadi, mendahului berbagai perselisihan ideologi, kita harus memastikan bahwa korupsi dan arogansi politik tidak boleh dipelihara dalam sistem politik kita. Dari sana, baru kita dapat menyusun kombinasi paling rasional antara peran pasar dan negara dalam melayani warganegara.
Obsesi kita tentang "ke-Indonesia-an" hari-hari ini, tidak cukup lagi merujuk pada dokumen-dokumen historis di masa lalu (Sumpah Pemuda, Proklamasi, dll), tetapi kita perlu memperluasnya pada kebutuhan politik masakini untuk mewadahi "kemajemukan baru", yaitu kemajemukan yang timbul oleh percakapan kebudayaan dan teknologi global. Percakapan kebudayaan itu lebih sering berlangsung di dalam ruang maya, dan nampaknya demokratisasi pikiran dan ide lebih dihargai di dalam kondisi digitalnya, ketimbang dalam pergaulan sosial nyata.
Perkembangan "ruang politik digital" itu, menandai suatu transisi peradaban politik baru. Imajinasi misalnya, akan meloloskan diri dari sensor institusi-institusi formal negara, dan karena itu, ukuran-ukuran moral lama sesungguhnya sudah memasuki masa kadaluwarsa. Kini, sangat mungkin juga orang mendirikan rumah-rumah ibadah digital, bukan sekedar untuk menghindar dari lemparan batu kaum fundamentalis, tapi untuk sungguh-sungguh memberi tahu mereka bahwa surga juga dapat dibayangkan secara teknologis, dan diselenggarakan secara ekonomis.
Tetapi politik adalah penyelenggaraan keadilan di dalam ruang sosial nyata. Ruang digital tidak boleh berubah menjadi tempat mencari suaka. Ruang digital hanya boleh menjadi ruang konsolidasi subversif untuk membebaskan ruang sosial nyata dari hegemoni politik konservatif-fundamentalis.
Sesungguhnya, sama seperti ruang demokrasi, ruang digital itu juga dimanfaatkan oleh politik fundamentalis untuk menimbun dan menyebar kebencian, intoleransi dan permusuhan. Jelas bahwa ruang digital hanyalah sarana operasi politik, sementara markasnya tetap berada di dalam ruang sosial nyata: di ruang rapat partai, di kelas-kelas sekolah, di rumah-rumah ibadah.
Dalam konteks solidaritas global itu, kondisi kemanusiaan tidak mungkin lagi dipahami dalam definisi-definisi primordial. Kita tidak menjadi "manusia" hanya karena terikat pada kesamaan etnis dan keyakinan. Kita menjadi manusia karena kita terikat pada problem sosial yang sama, yaitu kemiskinan dan krisis energi global. Kita tidak mencari rasa aman pada aturan-aturan komunal, bila kita paham bahwa hukum hak asasi manusia telah menyelamatkan peradaban dari politik genosida di berbagai penjuru dunia. Kemanusiaan kita hari ini lebih diikat oleh kewajiban global untuk mengatasi bencana alam dan memberi perlindungan pada para pencari suaka. Kemanusiaan adalah solidaritas etis terhadap masalah masa kini, dan bukan perkelahian ideologis di jalan buntu.
Mengucapkan kemanusiaan sebagai "solidaritas etis" harus memungkinkan setiap orang keluar dari koordinat mentalitas komunalnya. Pertemuan di dalam ruang politik adalah pertemuan untuk mempercakapkan kemungkinan-kemungkinan sosiologis, dan bukan kepastian-kepastian teologis. Menerima politik sebagai "ruang antagonisme", berarti memahami peluang untuk suatu konfrontasi etis demi alasan-alasan keadilan. Karena itu politik mengandaikan resipkrokasi percakapan, dan itu berarti wacana publik hanya dapat diselenggarakan bila keadilan dikonsepsikan secara sekuler. Anda tentu tidak membayar pajak untuk memperoleh "pahala akhirat", melainkan untuk menjamin keadilan di bumi. Artinya, solidaritas etis harus dapat diukurkan langsung pada kesosialan manusia hari ini, agar kita tidak menunda keadilan sampai tibanya hari kiamat.
Tentu saja kita masih masih perlu memandang diri sendiri melalui cermin-cermin identitas yang dipasang mengelilingi hidup komunal kita. Cermin-cermin itu seperti memberi rasa aman primitif kepada identitas seseorang. Kita bahkan perlu menggosok cermin itu agar kilaunya menimbulkan rasa unggul primitif pada kelompok. Tetapi sekali kita melangkah ke luar rumah, narsisisme itu tidak lagi banyak gunanya. Di dunia nyata, yang kita temukan adalah berbagai masalah sosial yang tidak mungkin sekedar diatasi dengan doa, sesajen dan mantra. Politik kelas tidak dapat ditunggu penyelesaiannya di akhirat. Demikian juga kerusakan lingkungan tidak dapat ditangkal oleh komat-kamit sejumlah dukun. Kesetaraan gender, bahkan menuntut cermin-cermin itu dipecahkan!
So, do you speak Pluralism? Do you speak Environmentalism? Feminism?, Queer? Kita sedang berbicara tentang "politics of recognition". Dan itu berarti pemihakan pada mereka yang tersisih oleh kekuatan-kekuatan kekuasaan, kapital dan kebudayaan. Dasar etis dari "politik pengakuan" ini adalah bahwa suatu kelompok yang tersisih hanya karena kedudukannya yang "minoritas" dalam masyarakat politik, harus memperoleh perlindungan istimewa dari negara. Itulah alasan misalnya bagi pengakuan atas hak "affirmative action" bagi politik perempuan. Itu juga alasannya keperluan kita membela hak-hak "queer", karena orientasi seksual adalah kondisi yang sangat individual. Negara tidak dapat diperalat untuk menjalankan moral mayoritas.
Di dalam diktum yang paling keras, negara justeru diadakan untuk melindungi kelompok minoritas. Sebaliknya, kelompok mayoritas yang masih menuntut pengakuan adalah kelompok yang sebetulnya bermental minoritas.
Tetapi Republik harus tetap berdiri...

Republik adalah ide minimal untuk menyelenggarakan keadilan, kesetaraan dan kemajemukan. Normativitas ini menuntut pekerjaan politik, pada dua lapis. Pertama, suatu imajinasi intelektual untuk merawat konsep "publik" pada kondisi sekulernya. Kedua, suatu perlawanan politik terhadap teokratisasi institusi-institusi publik. Artinya, ide republik hanya dapat terselenggara di dalam suatu usaha intelektual yang berkelanjutan, yaitu usaha mempertahankan kondisi perdebatan politik pada dataran duniawi, sosiologis dan historis. Usaha ini bukan dimaksudkan untuk meyakinkan kaum absolutis, melainkan untuk membantu mereka yang ragu-ragu karena kekurangan alat kalkulasi logis. Mereka yang "ragu-ragu" inilah sesungguhnya yang dapat "membiarkan" demokrasi dikuasai dan dikendalikan oleh politik absolutis. Golongan "ragu-ragu" ini bukan saja mengalami kecemasan di dalam membayangkan suatu masyarakat sekuler, tetapi juga tergoda membayangkan suatu "keuntungan moral" di dalam suatu politik teokratis. Gangguan akal sehat semacam inilah yang secara cepat dimanfaatkan oleh politik fundamentalisme untuk menebar hegemoni moral mayoritas.
Menerangkan politik sebagai urusan warganegara, sekaligus berarti mempertahankan argumen masyarakat sekuler. Di dalam Republik, status primer seseorang adalah sebagai warganegara (citizen). Ia tentu memiliki sejumlah status privat: agama, etnis, dll. Tetapi status privat tidak mungkin diajukan untuk mendukung argumentasi publik. Republik hanya berurusan dengan argumentasi publik. Keyakinan agama warganegara misalnya, bukanlah urusan negara. Negara tidak dapat diperalat untuk menjamin isi keyakinan itu. Negara hanya menjamin hak berkeyakinan itu, sebagai hak warganegara. Dan sebagai hak, setiap orang bebas mendeskripsikan preferensi religiusnya, sekaligus bebas untuk tidak menggunakannya. Kandungan moral agama bukan urusan negara. Tetapi bila kandungan itu melahirkan kriminalitas, maka negara menghukum atas dasar hukum publik, dan bukan melarang isi keyakinan itu. Batas itu harus dipegang secara teguh sebagai prinsip pendidikan politik publik. Dan prinsip itu harus diterangkan sejak dini pada murid sekolah, dipastikan dipahami oleh anggota partai politik, dan dijadikan diktum pejabat publik. Dengan cara itu kita tidak perlu lagi mendengar pejabat publik mengucapkan kebodohan karena memaksakan pandangan moral pribadinya terhadap soal publik. Di sini sekaligus perlu kita ingatkan bahwa para menteri adalah pembantu Presiden, dan bukan asisten Tuhan.
Keragu-raguan untuk menerima dan menjalankan konsekuensi politik dari ide Republik, terutama disebabkan oleh kepentingan politisasi kekuasaan terhadap kondisi antropologis bangsa ini. Bagaimanapun, simbol-simbol primordial tidak mungkin punah hanya oleh gerak ekonomi global, modernisasi dan kosmopolitanisme. Politik identitas telah menjadi reaksi logis dari kosmopolitanisme, tetapi pemanfaatan politiknyalah yang menjadi isu utama di negeri ini. Artinya, kondisi atropologis kita yang masih kuat berbasis pada paham-paham komunal juteru dieksploitasi oleh kekuasaan untuk diperjualbelikan di dalam pasar politik. Maka sangatlah ironis ketika kita mengucapkan demokrasi sebagai pilihan sistem politik, pada saat yang sama kita sudah berencana memenangkan pemilu dengan peralatan-peralatan primordial, terutama agama.
Di dalam Republik, kita menyelenggarakan pluralisme. Artinya, kita bukan sekedar mengakui perbedaan pandangan hidup, tapi kita sendiri juga dapat berubah pandangan hidup. Dalam pluralisme, kita tidak menyebut kebenaran itu "relatif", melainkan "tentatif". Karena itu selalu terbuka kesempatan untuk berselisih pendapat, agar kita bisa bercakap-cakap. Kewarganegaraan adalah percakapan di antara mereka yang tidak fanatik. Republik adalah lokasi politik yang menampung semua proposal sekuler. Di sini kita harus pahami ide Republik bukan semata-mata sebagai instalasi politik teknis, tetapi sebagai struktur percakapan etis. Di dalam Republik, "suasana" percakapan publiklah yang lebih utama ketimbang fasilitas-fasilitas politiknya (partai, pengadilan, birokrasi). Di dalam Republik-lah manusia menyelenggarakan dirinya sebagai "zoon politicon", merundingkan kepentingan bersama, memutuskan keadilan dan mendistribusikan kebutuhan dasar. Proses ini mengandaikan kebebasan dan kesetaraan. Itulah sifat publik dari politik. Dengan kata lain, intervensi nilai-nilai personal ke dalam ruang publik tidak boleh terjadi. Nilai personal, pandangan moral komunal, harus dikonversi ke dalam tata bahasa politik publik bila ingin diajukan sebagai proposal publik. Artinya, keterbukaan dan kesetaraan di dalam Republik hanya mengandalkan diskursus rasio publik. Dan sifat diskursus itu adalah falibilis, bukan absolutis.
Kemajemukan dan "suasana Republik", sesungguhnya telah kita miliki jauh sebelum Proklamasi diucapkan. Sumpah Pemuda adalah sumber energi kemajemukan yang sesungguhnya. Pikiran politik di tahun 1928 itu menyadari sepenuhnya kondisi ideologis bangsa ini, kondisi yang potensial bagi konflik horisontal, dan karena itu para pemuda hanya bersepakat untuk tiga hal: satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air. Sumpah Pemuda tidak bersepakat demi soal-soal akhirat, tetapi demi urusan antar manusia di bumi, manusia yang beragam. Mereka bersumpah untuk sesuatu "yang sosiologis" (tanah, bangsa dan bahasa), karena paham bahwa "yang teologis" tidak mungkin dijadikan tali pengikat politik. Politik 1928, tidak terobsesi pada "sumpah keempat": beragama satu. Kecerdasan itulah yang sesungguhnya hilang dari percakapan politik kita hari-hari ini. Sumpah Pemuda kini hanya diingat dalam tema "kebangsaan" yang bahkan disempitkan menjadi "keberagaman dan keberagamaan" (dan karena itu perayaannya cuma diisi oleh petuah dan pesan-pesan agamis). Padahal moral dan filsafat politiknya telah mendahului menyelesaikan pertikaian politik agama dalam penyusunan Undang-Undang Dasar 1945.
Argumen ini harus kita ajukan untuk memastikan bahwa sumber kebudayaan modern dari ide republikanisme, sudah disediakan 17 tahun sebelum republik diproklamasikan. Artinya, ide republikanisme sudah dipelihara oleh "masyarakat sipil", jauh sebelum diformalkan oleh "masyarakat politik" melalui konstitusi 1945. Bahkan obsesi untuk memberi warna "agamis" pada penyelenggaraan negara (melalui debat panjang di Konstituante), juga dibatalkan oleh kecerdasan kebangsaan modern, yaitu bahwa di dalam Republik, rakyatlah yang berdaulat, bukan Tuhan atau Raja. Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan itu: "Negara berdasarkan Kedaulatan Rakyat" .
Ide Kedaulatan Rakyat ini memberi kita batas yang tegas tentang wilayah politik. Yaitu bahwa politik adalah transaksi sekuler dengan ukuran-ukuran rasional, empiris, dan historis. Bahwa bahasa politik adalah bahasa yang dapat diperlihatkan konsekuensinya "di sini dan sekarang", bukan "nanti dan di sana". Bahwa ukuran-ukuran moral harus tumbuh dari pertarungan gagasan-gagasan historis, bukan dari doktrin-doktrin metafisis. Bahwa warga negara hanya terikat pada ayat-ayat konstitusi, dan bukan pada ayat-ayat suci. Bahwa fakta adanya golongan mayoritas (dalam agama misalnya), hanyalah petunjuk demografis, yaitu untuk keperluan administrasi kependudukan dan bukan untuk keunggulan kedudukan suatu kelompok terhadap yang lain. Di dalam demokrasi, identitas individu (agama, kelamin, pekerjaan), hanya dicatat sebagai data statistik, dan bukan alasan pembedaan warganegara.
Sangatlah berbahaya bila seseorang didefinisikan sebagai minoritas dalam agama atau preferensi seksual misalnya karena sekaligus ia akan menjadi warganegara kelas dua. Diskriminasi inilah yang harus kita perangi karena ia menyebabkan permusuhan sosial atas alasan-alasan irasional. Misalnya, apakah karena seseorang tidak beragama, maka ia akan dikucilkan dan dilecehkan, atau bahkan dianiaya? Di dalam demokrasi, agama adalah hak. Artinya, ia boleh dipakai, boleh tidak. Negara tidak berwenang memaksakan kewajiban beragama karena hal itu melanggar kebebasan hati nurani. Agama adalah wilayah hati nurani. Kesucian keyakinan dan kejujuran ketakwaan seseorang hanya menjadi rahasia antara dia dan Tuhannya. Kemuliaan itulah yang harus dipisahkan dari kehidupan politik sehari-hari karena di dalam demokrasi kita tidak mungkin menghakimi seseorang berdasarkan ukuran moral orang lain. Sejauh preferensi moral dan religi seseorang tidak diterjemahkan menjadi tindakan kriminal, maka negara harus bertindak imparsial di dalam melayani hak-hak sipil dan politiknya. Atas dasar itulah negara berkewajiban mengedarkan etika publik, yaitu pendidikan kewarganegaraan yang membiasakan warganegara hidup dalam politik kemajemukan.
Kedaulatan Rakyat berarti bahwa keputusan politik dipertengkarkan atas kebutuhan keadilan dan kesetaraan sosial warganegara, dan bukan atas ukuran-ukuran hirarki kesolehan dan kesucian sebuah umat. Asumsi kedaulatan rakyat adalah bahwa semua orang setara dalam kecerdasan dan kebebasan, dan karena itu keputusan politik harus diambil dalam ruang antisipasi kesalahan, dan bukan dalam ruang kebenaran doktrinal.
Di dalam republik, "kebenaran" disirkulasikan dengan pikiran, dan bukan dengan keyakinan. Itulah sebabnya "kebenaran" dapat dibatalkan dengan argumen, dan bukan dipertahankan dengan kekerasan. Spekulasi epistemologis bahwa "kebenaran" itu harus satu, dan karena itu politik harus menjadi absolut, pernah membawa politik kita ke dalam sistem otoriterisme. Dan bila sekarang "kebenaran" itu hendak dipaksakan kembali atas dasar spekulasi teologis, maka kita sungguh-sungguh sedang mengumpankan diri pada otoriterisme teokratis. Inilah cara pandang monolitik yang kini semakin meluas dalam kehidupan politik kita akhir-akhir ini, suatu paradoks di dalam sistem demokrasi yang kita pilih.
Cara pandang politik semacam itu sesungguhnya berakar di dalam antropologi komunalisme yang kian tumbuh justeru dalam kondisi globalisasi. Komunalisme adalah alam pikiran konservatif yang memandang individu sebagai subyek tanpa eksistensi, yang identitasnya tergantung pada identitas komunitas. Komunalisme hendak menetapkan bahwa di luar komunitas, tidak ada identitas. Tetapi hal yang paling konservatif dari alam pikiran ini adalah keyakinan bahwa keutuhan komunitas memerlukan pengaturan doktrinal. Konsekwensinya adalah: tidak boleh ada pikiran bebas individu. Pandangan kebudayaan inilah yang kini sedang diedarkan melalui bawah-sadar politik rakyat oleh partai-partai berbasis agama, yang mengeksklusifkan kehidupan publik mengikuti parameter-parameter komunal. Secara kongkrit, pandangan itu berwujud dalam perda-perda agama.
Secara gradual kita merasakan infiltrasi pikiran itu dalam berbagai aturan publik dengan memanfaatkan fasilitas demokrasi, yaitu kekuasaan parlemen membuat undang-undang. Politik adalah upaya menguasai ruang publik. Demokrasi memang toleran terhadap kontestasi pikiran. Tetapi politik komunalisme hendak menutup ruang publik itu dengan suatu diktum ontologi absolutis: hanya boleh ada satu Ada, dan karena itu, ada yang lain tidak boleh ada!
Dalam versi sekulernya, pandangan komunalisme ini pernah memayungi praktek penyelenggaraan konstitusi kita, yaitu melalui doktrin "negara integralistik", suatu pandangan feodalistik yang dijalankan dengan dukungan militer di masa Orde Baru, dalam konspirasinya dengan kekuatan kapital. Praktek politik ini hanya mungkin berlangsung karena akar-akar budaya feodal itu memang ada di dalam masyarakat kita.
Tetapi bentuk komunalisme hari-hari ini adalah suatu sikap eksklusivisme religius yang memanfaatkan keterbukaan demokrasi, sambil mengeksploitasi simbol-simbol agama yang memang kuat tertanam dalam antropologi politik bangsa ini. Anda mungkin terkejut mendengar seorang murid SD menunjukkan jalan kepada sopir taksi, sambil mengingatkan: "itu rumah orang kafir lho!" Dalam kasus semacam ini, kita tahu ada problem serius tentang kewarganegaraan, kemajemukan, dan pikiran terbuka. Ada problem serius tentang kehidupan di sekolah-sekolah, di dalam kurikulum dan organisasi-organisasi masyarakat. Acuan konsep-konsep publik yang seharusnya menimbulkan toleransi horisontal, telah diajarkan justeru dengan doktrinasi diskriminatif pada generasi yang baru tumbuh.
Politik kita hari-hari ini sedang menjalankan "crypto-politics". Elit menunggangi kebodohan dan kepatuhan komunal, untuk mencapai tujuan-tujuan kekuasaan. Sekarang ini, memimpin atau sekedar menjadi bagian dari suatu komunitas religius merupakan kebutuhan politis elit untuk mencapai status-status publik. Kesolehan menjadi simbol kewarganegaraan. Tatakrama menjadi pembatas kritisisme. Diskursus demokrasi menjadi tempat nyaman untuk mengorganisir kekuasaan dengan memanfaatkan peralatan agama. Simbol-simbol privat kini merajai kehidupan publik. Mayoritarianisme mendikte paham kedaulatan rakyat. Bahkan Mahkamah Konstitusi bersikap sangat adaptif terhadap logika "mayoritarianisme" itu, dengan menerima argumen-argumen privat dalam memutuskan urusan publik.
Benar bahwa sistem demokrasi membuka ruang kebebasan bagi berbagai aspirasi. Tetapi apakah aspirasi kebencian, misoginis, intoleran dan bahkan kriminal harus dinilai sama dengan aspirasi keadilan, otonomi tubuh, dan kebebasan berpendapat?
Di dalam demokrasi, realitas selalu berarti "realitas sosial". Yaitu kondisi kehidupan yang selalu memungkinkan kebenaran dikoreksi melalui bahasa manusia. Dan koreksi itu adalah pekerjaan duniawi yang harus terus diaktifkan karena apa yang ada di akhirat tidak mungkin dikoreksi. Inilah realitas yang harus disimulasikan terus menerus, untuk menggantikan psikologi obsesif yang menghendaki pemenuhan kebenaran akhirat di Republik manusia.
Ide Republik memberi kita pelajaran moral yang sangat mendasar, yaitu etika publik harus menjadi satu-satunya ikatan kultural di antara warganegara. Etika publik adalah hasil negosiasi keadilan, di dalam upaya memelihara kehidupan bersama berdasarkan apa yang bisa didistribusikan di dunia, dan bukan apa yang akan diperoleh di akhirat.
Misalnya, obsesi untuk menyempurnakan keadilan harus kita hasilkan melalui sistem pajak karena melalui pajaklah relasi warga negara disetarakan. Karena itu, sangatlah janggal bila pajak saudara untuk keadilan sosial di bumi, digunakan negara mensubsidi mereka yang ingin masuk surga.
Indonesia hari-hari ini...
Ada konvoi pemuda beringas berkeliling kota menebar moral. Ada anak muda memetik dawai mengelilingi dunia mengukir prestasi.
Ada fatwa penyair tua sepanjang hari membenci tubuh. Ada pelajar menggondol medali biologi di pentas dunia berkali-kali.
Ada lumpur pebisnis dibersihkan negara dengan pajak rakyat. Ada perempuan desa menembus bukit menyalurkan air bersih dengan tangannya sendiri.
Ada koruptor diusung partai jadi pahlawan. Ada relawan bergegas ke medan bencana tanpa menyewa wartawan.
Kita seperti hidup dalam dua Republik: Republic of Fear dan Republic of Hope. Akal sehat kita tentu menghendaki perwujudan Republic of Hope itu, secara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Tetapi nampaknya, penguasa politik lebih memilih memelihara Republic of Fear, karena di situlah statistik Pemilu dipertaruhkan. Kemajemukan hanya diucapkan di dalam pidato, selebihnya adalah tukar-tambah kepentingan yang diatur para broker. Hak Asasi Manusia dipromosikan ke mancanegara, tetapi kejahatan kemanusiaan di dalam negeri, diputihkan untuk modal Pemilu. Toleransi dihimbaukan ke seluruh rakyat, tetapi ketegasan tidak hendak dilaksanakan. Mengapung di atas bara sosial itu, sambil membayangkan siasat politik suksesi, adalah agenda harian elit politik hari-hari ini.
Politik tidak diselenggarakan di ruang publik, tetapi ditransaksikan secara personal. Tukar tambah kekuasaan berlangsung bukan atas dasar kalkulasi ideologis, tetapi semata-mata karena oportunisme individual. Di layar nasional, politik elit tampil dalam bentuknya yang paling dangkal: jual-beli di tempat! Tidak ada sedikitpun upaya "sofistikasi" untuk sekedar memperlihatkan sifat "elitis" dari percaloan politik itu. Dengan wajah standar, para koruptor menatap kamera karena yakin bahwa putusan hakim dapat dibatalkan oleh kekuasaan bila menolak ditukar saham. Dan sang hakim (juga jaksa dan polisi) memang mengkondisikan sebuah keputusan yang transaksional. Kepentingan bertemu kepentingan, keinginan bersua kebutuhan.
Di layar lokal, politik bahkan sudah diresmikan sebagai urusan "uang tunai". Seorang calon kepala daerah sudah mengijonkan proyek-proyek APBD kepada para pemodal, bahkan sebelum ia mencalonkan diri dalam Pilkada. Struktur APBD daerah umumnya condong membengkak pada sisi pegeluaran rutin pejabat dan birokrasi ketimbang pada sisi pengeluaran pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Maka sangat mudah memahami bahwa "human development index" kita tetap rendah karena biaya renovasi kamar mandi bupati lebih didahulukan ketimbang membangun puskesmas. Bahkan antisipasi terhadap kemungkinan sang kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi, juga sudah dipikirkan. Maka berbondong-bondonglah para kepala daerah bermasalah itu hijrah dari partai asalnya, masuk ke partai penguasa. Tentu itu bukan transfer politik gratisan. Tadah-menadah politik sudah menjadi subkultur politik nasional. Sekali lagi: kepentingan bertemu kepentingan, kemauan bersua kebutuhan.
Dalam perjanjian konstitusional negara dengan warganegara, keadilan dan keamanan dijadikan agunan untuk menetapkan kewajiban timbal-balik. Karena itu, bila saudara membayar pajak, maka saudara berhak memperoleh sistem politik yang memungkinkan keadilan itu diwujudkan. Bila saya patuh pada hukum, maka saya berhak menerima rasa aman dari negara. Tetapi urusan inilah yang kini amat jauh dari harapan publik. Para perusak hukum justeru dilindungi negara. Para pengemplang pajak, justeru dirangkul negara. Dan dalam urusan sistem politik, kita berhadapan dengan persekongkolan politik kartel yang memonopoli distribusi sumber daya politik dan ekonomi. Bahkan oligarki kekuasaan yang sesungguhnya, hanya melibatkan dua-tiga tokoh kunci yang saling menyogok, saling tergantung, dan saling mengintai. Politik menjadi kegiatan personal dari segelintir elit yang terjebak dalam skenario yang saling mengunci karena masing-masing terlibat dalam persekutuan pasar gelap kekuasaan pada waktu Pemilu.
Ketergantungan politik pada uang-lah yang menerangkan persekongkolan itu. Pertaruhan ini tidak ada hubungannya dengan politik ideologi, karena relasi personal telah menyelesaikan persaingan ideologi. Relasi itu tumbuh karena pelembagaan politik tidak berlangsung. Artinya, sistem kepartaian modern dan sistem parlemen kita tidak tumbuh di dalam kebutuhan untuk membudayakan demokrasi, tetapi lebih karena kepentingan elitis individual. Pemahaman tentang dalil-dalil bernegara tidak diajarkan di dalam partai politik. Etika publik bukan merupakan prinsip politik parlemen. Bahwa seolah-olah ada kesibukan mengurus rakyat, itu hanya tampil dalam upaya mempertahankan kursi politik individual, dan bukan karena kesadaran untuk memberi pendidikan politik pada rakyat. Parlemen adalah kebun bunga rakyat, tetapi rakyat lebih melihatnya sebagai sarang ular. Tanpa gagasan, minim pengetahuan, parlemen terus menjadi sasaran olok-olok publik. Tetapi tanpa peduli, minim etika, parlemen terus menjalankan dua pekerjaan utamanya: korupsi dan arogansi.
Defisit akal di parlemen adalah sebab dari defisit etika. Arogansi kepejabatan digunakan untuk menutupi defisit akal. Maka berlangsunglah fenomena ini: sang politisi yang sebelumnya menjadi pengemis suara rakyat pada waktu Pemilu, kini menyatakan diri sebagai pemilik kedaulatan. Seperti anjing yang menggonggongi tuannya, politisi memutus hubungan historisnya dengan rakyat, dan mulai berpikir menjadi pengemis baru. Kali ini, bukan pada rakyat, tetapi pada kekuasaan eksekutif. Faktor inilah yang menerangkan mengapa oposisi tidak dapat bekerja dalam sistem politik kita. Tukar tambah kepentingan antara eksekutif dan legislatif bahkan berlangsung sampai urusan "titik dan koma" suatu rancangan undang-undang. Transaksi itu sering tidak ada kaitannya dengan soal-soal ideologis, karena memang motif koruptiflah yang bekerja di bawah meja-meja sidang.
Asal-usul politik koruptif ini terkait dengan tidak adanya kurikulum "kewarganegaraan" dalam semua jenjang pendidikan nasional. Sistem pendidikan kita tidak mengorientasikan murid pada kehidupan publik. Konsep "masyarakat" di dalam kurikulum sekolah tidak diajarkan sebagai "tanggung jawab merawat hidup bersama", tetapi lebih sebagai kumpulan ajaran moral komunal yang pertanggungjawabannya diberikan nanti di akhirat. Konsep "etika publik" tidak diajarkan sebagai keutamaan kehidupan "bermasyarakat".
Memang, amandemen konstitusi tentang tujuan pendidikan nasional bahkan lebih mengutamakan pendidikan "akhlak" ketimbang "akal". Konsekuensinya terhadap kehidupan Republik sangatlah berbahaya karena warganegara tidak dibiasakan sejak dini untuk secara terbuka berargumen. Sangatlah bertentangan misi pendidikan itu dengan imperatif konstitusi kita yang mewajibkan kita "melihat dunia" melalui "kecerdasan" dan "perdamaian". Sesungguhnya filsafat publik kita semakin merosot menjadi pandangan sempit dan picik, karena pertarungan kecerdasan di parlemen di dalam membela ide masyarakat bebas tidak dapat berlangsung. Pengetahuan dan pemahaman konseptual tentang ide Republik lebih banyak diucapkan dalam retorika "nasionalisme", dan karena itu kedudukan primer konsep "warganegara" tidak cukup dipahami.
"Kewarganegaraan" adalah ide tentang tanggung jawab warganegara lintas politik, lintas komunal. Realisasinya memerlukan pemahaman fundamental tentang etika parlementarian, yaitu bahwa "kedaulatan rakyat" tidak pernah diberikan pada "wakil rakyat". Yang diberikan hanyalah kepentingan rakyat tentang satu isu yang secara spesifik didelegasikan pada "si wakil", dan karena itu dapat ditarik kembali setiap lima tahun. Juga dalam tema ini kita pahami bahwa "kedaulatan rakyat" tidak sama dengan "mayoritarianisme". Kedaulatan rakyat justeru difungsikan untuk mencegah demokrasi menjadi permainan politik golongan mayoritas. Itulah sebabnya kedaulatan rakyat tidak boleh dikuantifikasi dalam statistik atau dalam hasil Pemilu.
Defisit politik warganegara juga adalah akibat dari surplus politik feodal. Hari-hari ini hegemoni kultur politik feodal itu masuk dalam politik publik melalui langgam perpolitikan istana, ketika "kesantunan" menyisihkan "kritisisme". Dan kultur itu terpancar penuh dari bahasa tubuh Presiden. Prinsip yang berlaku adalah: kritik politik tidak boleh membuat kuping Presiden menjadi merah.
Feodalisme adalah sistem kekuasaan. Kita tentu tidak menemukannya lagi dalam masyarakat modern. Tetapi seorang penguasa dapat terus mengimajinasikan dirinya sebagai "raja", "tuan", "pembesar" dan sejenisnya, dan dengan kekuasaan itu ia menyelenggarakan pemerintahan. Kita justeru merasakan itu dalam kepemimpinan politik hari-hari ini, dalam diskursus bahasa tubuh, dalam idiom-idiom tatakrama, dalam simbol-simbol mistik, bahkan dalam politik angka keramat.
Di dalam kultur feodalistik, percakapan politik tidak mungkin berlangsung demokratis. Bukan saja karena ada hirarki kebenaran di dalam diskursus, tetapi bahkan diskursus itu sendiri harus menyesuaikan diri dengan "aturan politik feodal", aturan yang tak terlihat namun berkekuasaan. Sangatlah aneh bila kita berupaya menyelenggarakan sebuah birokrasi yang rasional dan impersonal, tetapi mental politik yang mengalir dalam instalasi birokrasi kita masih mental feodal.
Konsolidasi demokrasi memang sudah tertinggal oleh akumulasi kekuasaan. Enersi yang pernah kita himpun untuk menghentikan otoritarianisme, tidak lagi cukup untuk menggerakkan perubahan. Sebagian disebabkan oleh sifat politik reformasi yang amat "toleran", sehingga memungkinkan seorang jenderal pelanggar HAM duduk berdebat semeja dengan seorang aktivis HAM, mengevaluasi kondisi demokrasi. Juga tidak aneh menyaksikan seorang tokoh terpidana korupsi menjadi narasumber sebuah talkshow yang membahas arah pembangunan nasional. Transisi yang amat toleran itu telah meloloskan juga obsesi-obsesi politik komunalistik yang hendak mengatur ruang politik publik dengan hukum-hukum teokrasi. Di dalam keserbabolehan itulah kekuasaan politik hari-hari ini menarik keuntungan sebesar-besarnya. Tetapi berdiri di atas politik uang dan politik ayat, kekuasaan itu kini tampak mulai kehilangan keseimbangan. Antara tergelicir ke dalam lumpur, atau tersesat di gurun pasir, kekuasaan itu tampak kelelahan untuk bertahan.
Sabtu, 20 November 2010
Senin, 15 November 2010
Selamat hari raya kurban........
dan hingga saat ini cuaca disekitar jogja masih mendung,intinya kita semua harus bersyukur atas atas apa yang diberikan oleh gusti allah.cuman itu aja deh semoga bermanfaat buat semua,jangan jadikan perbedaan sholat sebagai pemecah bangsa,tapi jadikan itu agar bisa mempersatukan kita semua,sekali lagi selamat hari raya idul adha,yuk mari kita nongseng,nyate,tapi inget yang punya sakit gula minum obat gula dulu,yang punya tensti tinggi jangan banyak2,nah yang sudah berlebihan,kita bagi ke orang yang lebih membutuhkan,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,selamat makan semuanya
Minggu, 14 November 2010
Sebaik-baik istri adalah istri yang sholehah,termasuk,,,,,,,,,,,,
Sabtu, 13 November 2010
Antara dompet saya dan dompet gayus
Setelah menerima gaji bulan November ini… segera ku alokasikan ke beberapa pos kebutuhan rumah tangga. Namun ada beberapa pos yang harus dipangkas karena kebutuhan insidental.
Saat pusing memikirkan hal tsb… baca KOMPAS.COM, ada berita tentang bang.Gayus.
Langsung ku panjatkan syukur kepada Allah swt., saat ku memikirkan rezeki yang ada untuk digunakan sekarang. Walau serba pas-pasan setidaknya tidak ada kesempatan bagi saya untuk menggunakan kepada hal yang dilarang Allah swt.(ya ada si tapi dikit,hehehehehhhe)
Buat bung.Gayus… terimakasih saya ucapkan. Tindakannya mengingatkan kita betapa aparat negeri ini masih jauh dari “KEBERSIHAN”.
Sehari Bergaul dengan Anak SMA
Mengobrol dengan anak SMA untuk memecahkan masalah yang sebenarnya gampang dipecahkan namun hal itu menjadi sangatlah sulit dipecahkan.
Awalnya saya di suruh menemani keponakan mencari temannya yang kesasar di daerah Prambanan. Malah akibatnya jadi mengelilingi Candi Prambanan tanpa hasil. Keponakan saya ”sms” tidak hanya satu kali bertanya posisi mereka dimana, tetap saja jawabannya begitu-begitu saja ”Aku di depan Candi Prambanan.” Dengan jawaban itu jelas bahwa posisi mereka di depan Candi Prambanan, tapi anehnya ketika kami mengelilingi candi itu sampai dua kali bahkan memakan waktu setengah jam tidak juga kami temukan.
Akhirnya saya menyuruh keponakan saya untuk menelpon temen-temannya menuju tempat tujuan di salah satu SMA di daerah Prambanan dengan bertanya pada orang di sekitar sana dan nanti bertemu di SMA tersebut. Setelah saya dari Candi Prambanan menuju SMA yang akan dituju malah tiba-tiba dikagetkan dengan seruan anak-anak SMA memanggil-manggil keponakan saya. Pikiran saya, ”Haduwh dikerjain anak-anak SMA nih!!!”.
Keponakan saya tiba-tiba turun langsung marah sama teman-teman mereka, ”Katanya kalian di Candi Prambanan, kok malah nongkrong di sini? Gimana sih, aku muter candi dua kali kalian gak nongol. Malah disini!!”. Salah satu dari mereka bilang,” Lhoh gimana apanya? Ini kan Candi Prambanan, depan Candi Prambanan. Tadi juga sudah tanya orang benar ini Candi Prambanan” Saya pun berkata sambil menggelengkan kepala, ” Adek ini Candi Boko bukan Candi Prambanan, kalian salah informasi.” Mereka pun kaget, ” Haah!!! Candi Boko?”.
Setelah kejadian tersebut saya mengantarkan mereka untuk menuju SMA yang akan mereka tuju. Rencananya mereka ingin sekolah sementara di SMA itu karena sekolah mereka masih ditutup akibat merapi.
Sesampai di sana tidak cukup satu jam untuk membahas jadi tidaknya ke SMA tersebut. Saya mendengar cletukan dari sana sini yang tidak ketemu jalan temuya. Krena lamanya berpikir akhirnya saya memberi sedikit saran,” Gimana jadinya? Kalau misalkan sekolah ini menurut kalian kejauhan dari tempat pengungsian. Sebaiknya kalian mencari sekolah yang lebih dekat dengan tempat pengungsian. Tidak usah kebingungan mencari tempat ke sana kemari. Nanti akhirnya malah kalian tidak jadi sekolah kalau tiap hari survey cari tempat untuk sekolah sementara.” Salah seorang dari mereka mengatakan,” Sekolahnya jelek, banyak lumutnya, gak bersih, gak terkenal.” Saya kembali bilang,” Berarti alasan kalian mencari sekolah itu harus yang sekolah paling bagus, yang setidak-tidaknya sejajar dengan sekolah kalian. Begitu? Jangan seperti itu, jangan melihat sekolah itu dari bentuknya. Semua sekolah sama, meski keliatan lumutan dan lain sebagainya itu tetap sekolah. Tempat menimba ilmu, untuk belajar bersama. Tujuan kalian kan belajar bukan untuk gaya-gaya’an. Katimbang hanya di pengungsian kalian bosan, sebaiknya kan sekolah dan sekolah tidak harus di tempat yang terkenal. Jadi sekarang prinsipnya janganlah menilai sesuatu itu dari luarnya saja, karena belum tentu juga luarnya bagus dalamnya juga bagus.”
Sesudah berpanas-panas akhirnya mereka tidak juga masuk ke sekolah itu, mereka langsung mencari sekolah di dekat pengungsian mereka masing-masing. Sebenarnya guru mereka menyediakan tempat juga buat mereka belajar, namun tidak pakai meja kursi ( lesehan dengan tikar ). Anak-anak tersebut yang melancong tadi tetap tidak mau di tempat sekolah yang di sediakan gurunya, mereka tetap akan mencari sekolah sendiri. Guru juga memberi leluasaan bagi para siswa mencari sekolah yang dekat kalau pun sekolah lesehan yang disediakan guru jauh dari tempat mereka mengungsi.
Haduwh bingung melihat pemikiran anak-anak SMA jaman sekarang. Kenapa dalam keadaan genting seperti ini mereka masih memikirkan ingin mencari sekolah yang perfect meski jauh dari pengungsian? Sebenarnya dibenak mereka mencari ilmu itu seperti apa sih? Perlu diingat juga mereka ini hanya sekolah sementara, agar pelajaran yang mereka terima dari sekolahnya yang dulu tidak terus saja tercecer dan dilupakan begitu saja. Pendidikan sangatlah berguna dan penting bagi mereka hidup. Sebagai warga negara kita harus menggenggam erat pendidikan yang kita miliki selama hidup dan bersekolahlah bila kalian masih mampu berpikir tanpa memandang jeleknya tempat belajar!!!
Jumat, 12 November 2010
Pak,kapan aq iso koyo bapak?
Anda pikir saya gak butuh mandi apa?
jujur saja ,saya sampa jam 4 sore ini sudah mand ada ali kalau 3x.
Pertama saat saya bangun tidur,kedua pas mau jum'atan,
ketga pas mau keluar beli bensin buat si meong,
tiba2 saya berfikir,nah lo si meong kok kecut plus kemproh amat,
mungkin gak pernah mandi kali ya,
tapi saya tiba2 inget,orang hari sabtu dag aq poles ampe kincong dan rela aq simpen dikamar ampe 2 hari,
egh skarang dah kotor lagi,ya udah dehhhhhh jatah makan saya hilang,
saya relakan buat nyuci si meong,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
pas pulangnya dapat jatah dari sisanya nyuci si meng 4 ribu,akhir makan nasi meong,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
sama jeruk panas,mantap jaya ciamik soro.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
